Buku Solilokui Sepeda: Sebuah Kado untuk Hidup Berkualitas

Bersepeda bukan hanya indah untuk rekereasi, olahraga, transportasi, ataupun bersenang-senang (hobi). Bersepeda itu bahkan jalan yang indah untuk merdeka, membebaskan jiwa. Sekaligus, wahana untuk melatih kesadaran agar lebih tangguh dan sabar menjalani kehidupan yang kadang tak sesuai keinginan.

Semua itu dikemas bernas oleh Purwanto Setiadi (Mas Pur) dalam buku Solilokui Sepeda, sebagai kado bagi pesepeda dan hidup yang lebih berkualitas.   

Buku ini memuat percakapan akrab penulisnya (Mas Pur) dengan diri sendiri, sepeda, dan beragam udara luar. Sebuah meditasi dan refleksi yang langka. Bisa dibilang begitu karena hidup yang serba bergegas sudah menggerus waktu untuk bercakap dengan jiwa.   

Melalui buku ini penulis hendak menyampaikan bahwa bersepeda telah mengajari  manusia untuk menyeimbangkan semua aspek kehidupan dan lingkungan.  Di situ ada kekuatan dalam diri sendiri untuk mencapai tujuan hidup secara mental dan fisik.  Ada start, ada finish. Artinya, berani mengayuh selangkah, berani menyelesaikan hingga tuntas di finish, dengan kemenangan. Daleeeeeem ya….

Bagi saya yang bersepeda sebatas mengalihkan diri dari jengah, buku ini menggoda dan menginspirasi.  Saya belum pernah bersepeda jauh-jauh, tapi sering terkagum-kagum dan ikut merasakan kesenangan ketika kakak laki-laki semata wayang membagikan kisahnya bertualang dengan sepeda. Menjelajah alam, menempuh perjalanan, dengan sepeda. 



Kakak laki-laki saya bekerja sebagai seorang designer grafis di sebuah group media nasional dan kebetulan berteman dengan Mas Pur penulis buku ini.  Mereka juga sering gowes bareng komunitasnya. Buku ini pun dibuatkan cover dan lay out-nya oleh kakak saya. Trilogi sepeda-buku-kopi memang menyatu dalam kehidupan mereka.  

Nah, kalau saya sih tinggal membaca saja bukunya.  Menikmati dengan santai dan berbahagia.  Tulisan mas Pur yang jernih dan rapi, memikat saya walau dibaca tak berurutan.  Menjejaki paragraf demi paragraf yang ditulisnya seperti ikut tersenyum,-tertawa- bahkan tergelitik mengulum pengalaman Mas Pur bersama sahabat sejatinya – sepeda. 



164 halaman yang di tulis Mas Pur menunjukkan kepiawaiannya meramu bacaan dan pengalaman menjadi menu baru yang adem di hati. Bacaan seperti inilah yang cocok sebagai suplemen otak dan jiwa.  Ya, jiwa kita pun diajak membaca, tersenyum, dan bersyukur.  

Mas Pur menulis buku ini dengan terstruktur dalam tiga bagian.  Di bagian pertama, 15 tulisannya memuat pengalaman tentang diri, sepeda, dan kehidupan.  10 tulisan di bagian kedua secara khusus menyajikan kisahnya dan sepeda sebagai alat transportasi. Pernak pernik kisah tentang bersepeda ke kantor lalu ditulis Mas Pur di bagian ketiga.  Ada 9 tulisan yang bisa kita nikmati tentang bike to work yang ngehits itu.




Bagian terakhir dari buku ini memuat cerita perjalanan bersepeda jarak jauh yang seru dan menggoda. 9 tulisan di bagian terakhir ini seperti tangan ramah yang melambai-lambai mengajak pembaca untuk ikut menikmati senangnya bersepeda. 






Memberdayakan Perempuan dengan Sepeda


Saya tidak pernah membayangkan bahwa sepeda dapat memberdayakan perempuan di tempat-tempat di belahan bumi ini.  Mas Pur menuliskannya.  Perempuan dan anak-anak pengungsi dari negara konflik seperti Afganistan dan Suriah, merasakan artinya sepeda yang memberdayakan hidup mereka.  Di Jerman, mereka dibantu sukarelawan dan Bikeygees (yang didirikan oleh Annette Kruger).  Para perempuan pengungsi ini diajari mengendarai sepeda dan kursus singkat perbaikan ringan serta pengetahuan tentang peraturan lalu lintas di Jerman.  Dari donasi, mereka mendapatkan sepeda, helm, serta perkakas untuk pemeliharaan dan kunci pengaman.  


500 perempuan pengungsi itupun merasakan hidup yang lebih berdaya setelah terampil bersepeda.  Perlahan-lahan remaja perempuan mulai memperlihatkan rasa percaya diri.  Emily, gadis pengungsi berusia 22 tahun yang tinggal di Jerman mengungkapkan terima kasihnya atas sepeda yang memberdayakan.  Begini tulisnya :” Pengalaman ini memberi saya perasaan bebas dan percaya diri.  Maksud saya, ini pengalaman yang sangat indah, bisa berada dalam keadaan mengendalikan diri dan berkonsentrasi di atas dua roda.  Saya merasa bagaikan burung di angkasa.”  Wow!



Para perempuan dari negara konflik ternyata memiliki harapan yang besar untuk menjelang ke dunia luar dan menyampaikan ide mereka sendiri.  Bukan cuma ide suami atau saudara lelaki mereka. Perempuan ingin berdaya dan didengar.  Siapa yang menyangka, diawali dengan belajar bersepeda dan keluar rumah dengan bersepeda para perempuan inipun telah merasa lebih berdaya. Mengesankan.   

Bersepeda sebagai Sarana Mindfulness


Mindfulness adalah kemampuan untuk mengarahkan pikiran ke tujuan yang kita inginkan dan sekaligus “hadir” bersama dengan apa pun yang sedang terjadi saat itu.  Di masa ketika orang pada umumnya cenderung autopilot, mindfulness menyediakan cara yang sudah terbukti secara ilmiah untuk keluar dari situasi itu.  



Berbeda dengan keadaan sadar saja, mindfulness bukanlah duduk berdiam diri dan bersantai, atau sesuatu yang menghabiskan waktu seharian.  Bisa dibilang mindfulness adalah praktek meditasi secara aktif, yang bisa dilakukan dengan yoga, berjalan, ataupun bersepeda.  Ini saya setuju sekali.  Sebab sayapun pernah melakukannya. Di pagi atau sore hari, saya kayuh sepeda tanpa tujuan, kadang hanya berputar-putar di kompleks perumahan.  

Suatu hari pernah saya merasa jenuh bekerja di tempat yang sekarang, dan dengan bekal ijazah S2 yang saya miliki serta pengalaman pernah mengajar di universitas, saya beranikan diri melamar sebagai dosen di Universitas Negeri.  Setelah melalui proses yang panjang , tes demi tes yang melelahkan dan menghabiskan jatah cuti saya, endingnya saya tidak diterima.  
Sore harinya setelah pengumuman itu, saya mengeluarkan sepeda, mengayuhnya jauh jauh tanpa tujuan.  Saya menyatukan pikiran hanya pada menikmati kayuhan pedal dan situasi sekeliling yang hadir bersama dengan diri saya.  Sepulangnya, saya menjadi lebih tenang dan mampu menerima kenyataan.  

Benar adanya jika Mas Pur menuliskan bahwa bersepeda bisa manjadi salah satu alternatif meditasi aktif yang menyejukkan jiwa.  Saya pun mengalaminya.  Kayuhan pedal bisa melupakan kesedihan, dan mengantarkan kita pada kekuatan baru untuk menjelang pada kenyataan segetir apapun. 


Bersepeda tanpa batas usia


Siapa bilang bersepeda hanya untuk para orang muda? Oo tidak.  Yang bilang begitu, harus baca dulu uraian Mas Pur di buku ini. Bahkan seorang mantan pengusaha pakaian dalam perempuan berusia 97 tahun dari Denmark, Thorkild Thim, hanya punya satu kendaraan pribadi seumur hidupnya : sepeda. 

Thorkild dan Ole Kassow -rekannya- mampu menyebabkan para pensiunan lanjut usia dan mereka yang tinggal di rumah jompo untuk keluar bersepeda di tengah udara segar.  Menyusuri jalan-jalan yang dulu pernah mereka lalui atau yang baru akan mereka temukan.  Gerakan ini meluas, dan dinamakan  Cycling Without Age (Bersepeda Tanpa Usia), melibatkan sekian banyak orang dengan ragam profesi mulai dari tukang ledeng hingga pengacara.  Dengan sistem lisensi gratis, gerakan ini pun menyebar ke berbagai penjuru Eropa.  

Bersepeda tak pandang usia. Tua muda bisa melakukannya, asalkan mau. Dan manfaatnya bagi kesehatan tidak diragukan lagi.  Selain jogging, bersepeda bisa dilakukan oleh hampir semua usia. 

Inilah Pasangan serasi : sepeda dan kopi !!


Bukan kebetulan nampaknya jika para pesepeda juga adalah para pencinta kopi.  Persis seperti kakak saya.  Jika pergi gowes bersama teman-temannya, di belakang sepedanya teronggok tas khusus berisi perangkat mengopi.  Bersepeda hingga ke kebun kopi di Pengalengan untuk memperdalam pelajaran kopi mengopi juga menjadi hal asyik yang langka. Menyusuri kota-kota apik di Jawa Tengah dengan sepedanya, kakak saya lalu menyambangi setiap tempat mengopi yang unik. Bahkan ia pergi ke Macau membawa sepeda lipat dan perangkat mengopi dalam koper.  Di sana dia menjelajah dengan sepeda dari satu kedai kopi ke kedai lainnya.  



Dalam bukunya Mas Pur menuliskan tentang Ted King, seorang pembalap sepeda profesional dari Amerika.  Ted bilang begini:”Sepeda dan kopi itu pasangan yang selaras. Beberapa jam awal dari bersepeda itu selalu distimulasi secangkir kopi di pagi hari.  Bersepeda santai ke kedai kopi terdekat merupakan standar di hari yang malas, tak peduli apakah anda di Amerika, Australia, Italia, Spanyol, atau Belgia.  Dari para amatir hingga profesional, menyaksikan sebuah sepeda balap yang keren diparkir di luar kedai kopi sungguh bisa dipahami.” 

Wow. Mantap ya.

Tentu saja, bukan hanya pembalap profesional yang punya hubungan erat dengan kopi.  Russ Roca, pendiri The Path Less Pedaled, website yang mempromosikan dan mengadvokasikan kegiatan bersepeda misalnya.  Mengaku sebagai pecandu kopi, Roca tak pernah berhenti mencari alat seduh kopi yang sempurna untuk dibawa touring dan kemping.  Dia menuliskan kesan setiap kali menemukan sesuatu yang baru.  

Apakah Anda termasuk penggemar kopi yang suka bersepeda?  Atau pesepeda yang gemar mengopi?....

Sepeda dan Semangat Perlawanan untuk Merdeka


Menurut Mas Pur, bersepeda bukan soal sepeda yang bagus, perlengkapan yang update, dan aksesoris yang lengkap, merk dan sebagainya.  Bersepeda itu, apapun bentuk perangkatnya-membebaskan. Entah itu dengan sepeda buruk rupa atau Brompton yang super keren.  Kisah pembebasan bagaikan keluar dari bui ini ditulis Mas Pur dengan epik.  Ya, bebas dari kerangkeng mobil, kotak mesin berjalan yang diumpamakan seperti penjara.  



Mas Pur meraih kemerdekaannya dengan meninggalkan bermobil dan beralih bersepeda.  Ia menuliskan: “Saya memperoleh kembali banyak hal yang hilang dari masa masih mengemudikan mobil sendiri ke mana-mana sambil acuh tak acuh.  Bersepeda menghadapkan saya langsung dengan segala sesuatu yang ada di sepanjang perjalanan- rumah-rumah tetangga; jerit dan tawa anak-anak serta celotehan ibu-ibu di perkampungan tak jauh dari kompleks pemukiman tempat saya tinggal.; kebun dan tanah lapang; rimbun dedaunan dari barisan pohon di kanan-kiri jalan raya di depan sebuah equestrian serta kilatan sinar matahari di permukaan air situ beberapa puluh meter di sebelahnya; kerumunan kendaraan yang terjebak kemacetan di antara kepulan asap knalpot dan debu yang beterbangan; sengatan matahari di musim kemarau; guyuran air hujan……”

Namun, tidak ketinggalan dari semua itu Mas Pur juga bisa merasakan bagaimana dengan kemerdekaan yang ada, jantungnya berdegup, perlahan maupun kencang, dan kegembiraan jadi melambung, tergantung seberapa pelan atau cepat pedal dikayuh. 

Bagi siapapun yang suka bersepeda, berniat belajar bersepeda, ataupun hanya mengetahui sepeda dari sebuah impian, layak membaca buku ini. Buku ini akan menjadi sahabat yang setia untuk dibuka kembali saat hujan di luar sana membuat kita nyaman di dalam rumah yang hangat, menikmati teh atau kopi, dan bermimpi tentang percakapan diri dengan sahabat baru- sepeda. (Opi). 


Informasi Buku 

Judul : Soli  lokui Sepeda 
Penulis : Purwanto Setiadi 
Copyright 2018 
xxvi + 164 halaman 
Kulit muka dan tata letak Aji Yuliarto 
Foto Sampul Purwanto Setiadi
Foto penulis Dhody Kincahyadi 
Dicetak oleh Buring Printing Cetakan pertama Januari 2019 
Harga Rp 75.000,- 

Tidak ada komentar

Terima kasih telah berkunjung dan membaca artikel ini. Silakan tinggalkan jejak di komentar dengan bahasa yang sopan. Mohon tidak meninggalkan link hidup. Terima kasih.