“Perempuan yang berhenti belajar akan terus terjajah oleh kesombongannya sendiri. Merasa terbaik dan berdiri di posisi terhormat atau teratas, lalu berhenti untuk belajar. Tanpa disadari, perempuan yang berhenti belajar telah membuang sendiri kesempatannya untuk merdeka secara hakiki”
Tiga kalimat itu muncul dalam benak ketika Saya merenung tadi malam tentang makna kemerdekaan bagi diri. Kemerdekaan bagi Saya adalah kebebasan untuk menjadi mandiri. Mandiri dalam makna finansial, bersikap dan mengambil keputusan, serta menentukan pilihan-pilihan dalam hidup. Menurut Saya, kemerdekaan perempuan akan terus dipertahankan selama ia mau terus belajar. Kemerdekaan itu penting, untuk mencapai kualitas hidup yang lebih baik.
Kemerdekaan itu memang telah Saya raih. Sejak lulus Sekolah Dasar, Saya bebas memilih sekolah lanjutan. Mau masuk rayon, atau pindah rayon. Begitu pula ketika lulus Sekolah Menengah Pertama dan Sekolah Menengah Atas. Memilih jurusan di perguruan tinggi pun dibebaskan oleh orang tua. Juga ketika memilih pekerjaan dan pasangan hidup.
Kebebasan yang diberikan kedua orang tua Saya, membuat Saya jadi merasa bertanggung jawab untuk bertahan dan survive dalam pilihan-pilihan hidup yang telah Saya tetapkan. Satu paket dengan konsekuensinya. Termasuk ketika Saya memilih untuk tetap bekerja setelah menikah dan melahirkan anak-anak.
Kebebasan yang diberikan kedua orang tua Saya, membuat Saya jadi merasa bertanggung jawab untuk bertahan dan survive dalam pilihan-pilihan hidup yang telah Saya tetapkan. Satu paket dengan konsekuensinya. Termasuk ketika Saya memilih untuk tetap bekerja setelah menikah dan melahirkan anak-anak.
Sebagai perempuan, Saya sering mendengar bahwa kemerdekaan perempuan akan terampas setelah menikah. Orang tua Saya pun mengatakan hal yang sama, walau dalam bentuk yang berbeda. Mereka menyarankan Saya terlebih dahulu bekerja, memahami bagaimana sulitnya mencari uang yang halal dan thayib dengan cara yang ma’ruf, memanjakan diri dengan uang hasil jerih payah sendiri, dan menikmati apa yang telah dicapai sebelum memutuskan untuk berkeluarga.
Belakangan Saya paham, kedua orang tua Saya ingin mengatakan bahwa setelah berkeluarga mungkin Saya tidak akan sebebas dan semerdeka ketika masih sendiri. Mereka ingin Saya lebih siap menghadapi fase berbagi dengan pasangan dan anak-anak setelah berkeluarga.
Belakangan Saya paham, kedua orang tua Saya ingin mengatakan bahwa setelah berkeluarga mungkin Saya tidak akan sebebas dan semerdeka ketika masih sendiri. Mereka ingin Saya lebih siap menghadapi fase berbagi dengan pasangan dan anak-anak setelah berkeluarga.
Setelah dijalani, Saya merasakan bahwa sebetulnya bukan kebebasan yang direnggut ketika perempuan memasuki fase hidup berkeluarga. Menurut Saya, kebebasan itu tetap ada. Kemerdekaan itu tidak bergeser tempatnya. Hanya saja, Saya merasa bahwa kemerdekaan/kebebasan itu jadi lebih dalam maknanya, karena disandingkan dengan tanggung jawab sebagai pendidik generasi. Pada waktu lajang, perempuan belum mengemban tanggung jawab itu.
Saya pikir, kebebasan yang kita anut sebaiknya adalah kebebasan yang bertanggung jawab. Baik ketika masih lajang, maupun setelah berpasangan. Sesuai dengan nilai-nilai yang dianut. Saat masih sendiri, kita perempuan merdeka yang bebas menentukan pilihan. Tapi kan tetap saja kita berpedoman pada nilai-nilai yang dianut. Bukan berarti kita bebas untuk melanggar aturan, bebas merusak fasilitas umum, bebas berhubungan sex dengan siapa saja, kan tidak demikian. Kita bebas tapi bertanggung jawab sesuai nilai-nilai yang berlaku.
Setelah menikah, juga tetap berlaku hal demikian. Kita tetap bebas tapi bertanggung jawab sesuai nilai-nilai yang berlaku. Setelah menikah seorang perempuan memang punya tanggung jawab baru sebagai istri lalu sebagai ibu. Namun, ia tetap berhak punya kebebasan untuk menentukan pilihan, melakukan yang terbaik, berkarya, dan memberikan makna di ranah domestik maupun publik. Tantangannya adalah apakah si perempuan ini mau tetap merdeka atau malah mundur terjajah oleh kemalasan atau kesombongan. Pilihan.
Ada kondisi saat seorang perempuan memutuskan menikah, lalu dengan mantap memilih tinggal di rumah untuk merawat sendiri anak-anaknya. Ia terus memperbaharui pengetahuan dan wawasan tentang pengasuhan anak. Di samping itu, ia terus belajar dan berbenah mengikuti dinamika. Nah, perempuan seperti ini adalah perempuan yang merdeka.
Ada kondisi saat seorang perempuan memutuskan menikah, lalu dengan mantap memilih tinggal di rumah untuk merawat sendiri anak-anaknya, tapi kemudian ia berhenti belajar. Menjadi ibu seadanya yang penting anaknya hidup. Apa-apa dilakukan asal kelakon saja. Nah ini yang berbahaya. Ini bisa disebut sebagai perempuan yang sebetulnya awalnya merdeka lalu membiarkan dirinya terjajah. Dirinya sendiri yang membiarkan kemerdekaannyanya terenggut oleh kemalasan dan rasa kenyang ilmu. Bagaimana kelak nasib anak-anak yang ibunya tak lagi haus ilmu dan berhenti belajar?
Adal lagi kondisi, saat seorang perempuan memutuskan menikah, lalu dengan mantap memilih tetap bekerja di ranah publik setelah melahirkan anak-anaknya. Ia terus belajar dari berbagai wahana untuk memperbaharui wawasan sebagai modal pembelajaran. Ia juga berusaha terus belajar menyeimbangkan peran domestik dan publik, walau itu sama sekali tidak mudah pada prakteknya. Ada pengorbanan, ada prioritas. Nah dia adalah perempuan yang merdeka. Perempuan seperti ini tidak membiarkan dirinya nyaman. Selalu merasa haus akan ilmu, karena setiap perkembangan anak-anaknya adalah hal baru yang membutuhkan ilmu baru. Setiap dinamika mengajarkannya pada proses baru yang membawa hikmah. Ia bertumbuh.
Ada pula kondisi, saat seorang perempuan memutuskan menikah, lalu dengan mantap memilih tetap bekerja di ranah publik setelah melahirkan anak-anaknya, dan mencapai posisi bagus pada kariernya. Tapi ia lalu berhenti belajar karena puas diri merasa sudah menjadi yang terbaik. Nah perempuan yang begini menurut saya tidak merdeka. Perempuan seperti ini pelan-pelan membiarkan kesombongan menjajahnya, dan merenggut kemerdekaanya. Ia membiarkan dinamika menggerus dirinya tanpa disadari!
Jangan lupa bahwa kemerdekaan itu memuat sesuatu yang terus tumbuh dan dinamis di dalamnya. Harus ada pembangunan jiwa di dalam mengisi kemerdekaan. Jiwa yang sebelumnya sudah merdeka jangan mundur terjajah oleh pemberhentian proses tumbuh dalam pembelajaran.
Jadi, siapapun perempuan itu, apakah dia seorang ibu rumah tangga ataupun Direktur Utama perusahaan ternama, ketika dia berhenti belajar maka berakhirlah kemerdekaannya. Mungkin tanpa disadari. Ada lho model penjajahan yang memang tidak kita sadari terjadi kok. Kita menganggap diri kita merdeka, bebas dan berdiri di atas kaki sendiri. Tapi, ternyata kita masih belum mampu misalnya untuk menjadikan 90% produksi dalam negeri sebagai tuan rumah di negeri sendiri. Apakah artinya kita sudah merdeka jika seperti ini? (silakan dijawab masing-masing)
Karena itu, tidak penting perempuan itu profesinya apa, yang penting adalah dia berhak terus merdeka dengan cara terus menjadi pembelajar. Mental pembelajar bukan pencari gelar akademis, atau berhenti pada posisi yang telah dianggapnya baik. Perempuan pembelajar itu belajar untuk menjadi insan yang lebih baik dari waktu ke waktu demi orang yang dicintai, entah itu keluarga-bangsa-negara-agama. Dia senantiasa belajar agar momen terindah di akhir hayat mengantarnya untuk menjadi husnul khotimah, cita-cita termulianya. Perempuan pembelajar adalah mereka yang terus tumbuh, memperbaharui wawasan dan pengetahuan melalui berbagai wahana, belajar dari apapun.
Lalu kenapa perempuan harus merdeka? Kenapa tidak boleh terjajah oleh kemalasan dan kesombongan? Jelas karena perempuan adalah tiang negara. Dari rahim para perempuan lah akan lahir generasi baru yang harus dididik untuk merubah nasib bangsa menjadi lebih baik.
Coba simak puisi karya Isma Sawitri berikut ini:
AIR MATA
Keringkan airmatamu
Tapi catat butirnya satu persatu
Taklukkan amarahmu
Transformasikan dalam jurus-jurus tahan peluru
Di pundakmu beban segala yang cemar
Jangan sesali itu
Di tanganmu Indonesia masa depan
Jangan sedikitpun ragu
Isma Sawitri
Dalam Lawan, Eksekusi, dan Percakapan tentang Mati (Kumpulan puisi dan prosa alit)
Nah, di tangan siapa Indonesia masa depan? Ya, Saya pikir ya di tangan para pembelajar yang melahirkan generasi bermental pembelajar. Bersiaplah perempuan pembelajar, mungkin kita memang akan mengeringkan air mata setiap saat karena tidak ada yang ringan dalam perjuangan.
Mungkin pundak kita akan sering merasa berat oleh beban. Tapi di situlah tantangannya. Tidak sepatutnya disesali. Jangan mau terjajah oleh kemalasan dan kesombongan yang Anda ciptakan sendiri. Ciptakan inovasi untuk mentransformasi semua energi menjadi jurus tahan banting. Mari ciptakan pilihan bahwa perempuan berhak merdeka dengan terus belajar menjadi insan yang lebih baik dari waktu ke waktu. Jangan pernah berhenti belajar. Salam Pembelajar!!! Merdeka!!! (Opi)
dalem banget deh artikelnya Opi yang ini.. setuju, menikah bukan berarti tidak merdeka ya..
BalasHapusihiks....gegara mau tujuh belasan baca bacain puisi kemerdekaannya Isma Sawitri.... jadi gitu deh .... kadang kalo abis baca bacain puisi itu lebih jadi mikir dalem... ga kayak kalo habis baca buku malah jadi suka ngayal trus ga nulis nulis hahaha :P
Hapus