Seratus empat belas tahun berlalu sejak Raden Ajeng Kartini wafat. Raganya telah pupus, tetapi semangat juangnya masih mengalir di bumi Indonesia. Setiap tahun, ketika penanggalan menunjukkan tanggal 21 April, kita masih mengingatnya sebagai perempuan agung yang memiliki pemikiran jauh melampaui batas zamannya.
Dari mana kita memahami pemikiran Kartini yang maju itu? Tentu dari tulisannya! Ya, dari ratusan surat yang ditulisnya kepada para sahabatnya di negeri Kincir Angin. Setidaknya ada 119 surat (yang dipublikasikan dalam buku Surat-Surat Kartini: Renungan Tentang dan Untuk Bangsanya) memuat pemikirannya.
Surat pertama kepada Nona E.H. Zeehandelaar ditulis Kartini di Jepara pada 25 Mei 1899 ketika berusia 20 tahun. Sementara surat terakhirnya kepada Nyonya R.M Abendanon ditulis di Rembang 7 September 1904, sepekan sebelum wafat. Kartini berpulang pada 13 September 1904, empat hari setelah melahirkan anak laki-lakinya. Dalam usia yang masih sangat muda, 25 tahun, Kartini mewariskan cita-citanya pada generasi berikut.
Cita-cita Kartini seperti yang banyak tersirat dan tersurat dalam tulisannya kepada para sahabat, adalah mengusahakan agar perempuan mendapatkan pendidikan yang tinggi. “Karena saya yakin sedalam-dalamnya, perempuan dapat menanamkan pengaruh besar ke dalam masyarakat, maka tidak ada sesuatu yang lebih baik dan lebih sungguh-sungguh yang saya inginkan kecuali dididik dalam bidang pengajaran, agar kelak saya dapat mengabdikan diri kepada pendidikan anak-anak perempuan kepala-kepala Bumiputera. Aduhai, ingin sekali, benar-benar saya ingin mendapat kesempatan memimpin hati anak-anak, membentuk watak, mencerdaskan otak muda, mendidik perempuan untuk masa depan, yang dengan baik akan dapat mengembangkannya dan menyebarkannya lagi. Suatu rahmat yang besar sekali bagi masyarakat Bumiputera, bila kaum perempuan dididik baik-baik. Dan untuk perempuan itu sendiri, dengan amat sangat kami inginkan mereka mendapat pengajaran dan pendidikan, yang bagi mereka akan merupakan rahmat besar,” begitu tulis Kartini dalam suratnya kepada Nyonya Van Kool pada Agustus 1901.
Bayangkan apabila Kartini tidak menulis. Bayangkan bila semua pemikirannya hanya berputar-putar di kepala, diperbincangkan dengan saudara, tanpa dituliskan. Mungkin, kita semua tidak akan pernah tahu tentang perempuan ningrat yang memiliki visi jauh ke depan.
Dari jejak penanya di surat-surat untuk sahabat, isi otak Kartini dirangkum. Lalu menjadi catatan sejarah yang menerbitkan terang setelah gelap yang panjang.
Rekam Jejak Digital
Jika dulu Kartini menulis pemikiran dan cita-citanya melalui media surat, maka di era kini yang serba digital para perempuan generasi penerusnya lebih banyak menyampaikan pemikirannya di rekam jejak digital. Buku-buku hardcopy masih membudaya, namun era Marketing 4.0 membuat pemberdayaan online dan offline berjalan saling berkolaborasi. Buku-buku karya penulis (yang juga para penulis perempuan) lalu banyak disajikan dalam bentuk buku digital (e-book).
Kartini masa kini adalah Kartini Digital. Ungkapan pemikiran dan ide-ide perempuan bertebaran di dunia online. Para penulis blog (seperti saya) menjadikan blog sebagai rumah maya – rumah yang kedua untuk melahirkan lantunan cerita dan kisah orisinil. Para penggiat komunitas perempuan menjadikan website, media sosial, dan beragam aplikasi untuk wahana menyebarkan ilmu dan berkolaborasi antar bidang ilmu. Para perempuan terhubung lewat dunia maya tanpa batas, menjalin networking dan betegur sapa dengan tulisan-tulisan yang bertanya jawab.
Perempuan Pantang Ngasal
Seandainya Kartini diberi kesempatan melihat situasi perempuan di zaman sekarang, kira-kira bagaimanakah pendapatnya? Tentunya beliau akan senang jika melihat para perempuan di zaman ini sudah lebih luas dalam meraih akses pendidikan. Seperti yang beliau cita-citakan. Tapi, mungkin beliau akan berduka jika para perempuan terdidik di era digital ini mengabaikan satu hal: menomorsekiankan tugas utama sebagai pendidik anak-anaknya sendiri.
“Dan siapakah yang lebih banyak berusaha memajukan kesejahteraan budi itu… Siapakah yang dapat membantu mempertinggi derajat budi manusia, ialah wanita, ibu…. Karena haribaan ibu itulah manusia mendapatkan didikannya yang mula sekali,” begitu kata Kartini. Beliau tak kan rela jika kita mengabaikan buah hati amanah Tuhan. Apalah gunanya jika kita para perempuan mengenyam pendidikan tinggi tetapi tidak menggunakannya untuk bekal mendidik anak-anak kita sendiri.
Kartini Digital menghadapi zaman yang berbeda dengan Raden Ajeng Kartini. Kemudahan akses belajar di era digital seharusnya digunakan untuk membantu akses belajar perempuan yang lebih terbelakang, dan menularkan semangat belajar kepada anak-anak generasi berikut.
Sebuah introspeksi bagi diri saya sendiri, sudahkan ilmu yang saya pelajari diamalkan dengan optimal? Sudahkah ilmu itu dikembangkan, dituliskan kembali, dan direkam dalam jejak abadi untuk generasi zaman berikut? Kadang semua berjalan serba asal mengalir. Perilaku abai dan asal seharusnya dipantang.
Kita perempuan mungkin terlalu sering merasa lebih berjasa. Padahal mendidik anak sudah kewajiban utama. Perempuan juga mungkin terjebak merasa hebat karena bisa berpendidikan sama atau lebih tinggi dari laki-laki. Padahal mengedukasi diri itu juga sudah menjadi kewajiban insan, tidak dibatasi laki-laki atau perempuan.
RA Kartini tidak menyombongkan diri. Ia memikirkan banyak hal tentang masa depan. Bergerak dalam perubahan dan menentang ketidakadilan serta zaman yang lalim. Kegelisahannya karena gamang antara patuh pada ayah kandungnya atau memperjuangkan cita-cita, terekam jelas dalam suratnya. Semuanya disisip kobar semangat. Apakah dapat semangat Kartini itu kita resapi dan nyalakan kembali?
Dengan pendidikan yang lebih tinggi, zaman yang semakin canggih, seharusnya kita para Kartini Digital bisa lebih tertantang untuk mempertahankan keseimbangan membela keadilan, bergerak dalam perubahan, dan menaunginya dengan terang. Minimal, meresapi dan menularkannya pada anak-anak sendiri. Para Kartini Digital, pantang asal-asalan. (Opi)
Bahan Bacaan:
Surat-Surat Kartini: Renungan Tentang dan Untuk Bangsanya, 1985, diterjemahkan dari Door Duisternis Tot Licht oleh Sulastin Sutrisno, Penerbit Djambatan xxii + 406 hlm
Gelap Terang Hidup Kartini, Seri Buku TEMPO: Perempuan Perempuan Perkasa, 2013, ix + 148 hlm, Penerbit Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta
Ini adalah petikan surat Kartini yang ke-29 , ditulis 4 September 1901 untuk Nyonya R.M. Abendanon – Mandri , ketika usia Kartini 22 tahun, yang menggambarkan kegalauan Kartini ketika dihadapkan pada kewajiban patuh pada orang tua sekaligus kewajiban memperjuangkan cita cita pendidikan:
Aduhai! Kami tidak dapat, tidak mau percaya bahwa hidup kami akan berakhir biasa sekali, sama seperti hari-hari ribuan orang lain sebelum dan sesudah kami. Sungguhpun demikian, kadang-kadang serasa mustahil hidup kami lain dari pada itu! Ada kalanya keinginan hati kami yang sungguh-sungguh dan paling kami dambakan serasa hampir-hampir terkabul, ada kalanya lagi keinginan itu jauhnya tak terhingga dari kami.
Ada kalanya saat hati manusia yang dilambung-lambungkan kian kemari dan disiksa, bertanya dalam kebimbangan;” Tuhanku, apakah sebenarnya kewajiban itu?” Menyingkirkan kehendak hati namanya kewajiban dan menurutkan kehendak hati namanya kewajiban pula. Bagaimana menentukan dua perkara yang sama sekali bertentangan ini, kedua-duanya dinamakan kewajiban dan kedua-duanya benar-benar kewajiban.
“Diamlah.” Kata suara dalam hati dengan nyaring,”diamlah, lenyapkan hasrat dalam hatimu sendiri terhadap mereka, yang kasih kepadamu dan yang engkau kasihi. Perjuanganmu seperti itu akan memuliakan peri kemanusiaanmu. Diamlah!”
Lalu terdengar pula suara nyaring dan kuat:”Pergilah, bekerjalah untuk mewujudkan cita-citamu. Bekerjalah untuk hari depan. Bekerjalah untuk kebahagiaan ribuan orang yang tertindas oleh hukum yang lalim, dengan faham yang keliru tentang benar dan salah, tentang baik dan jahat. Pergilah, pergilah, tanggunglah derita dan berjuanglah, tetapi bekerjalah untuk sesuatu yang kekal!
Manakah kewajiban yang lebih mulia di antara keduanya itu, yang pertama atau yang terakhir?
Memikirkan kepentingan diri sendiri selalu saya pandang sebagai kejahatan yang paling jahat dan yang sangat jijik. Demikian juga halnya dengan rasa tiada terima kasih dan yang sejenisnya. Cita-cita kami, menjadi satu dengan kehidupan kami. Kami tidak dapat hidup tanpa cita-cita. Demikian pula, tanpa cinta kami tidak dapat memperlakukan orang-orang yang kami sayangi.
…………...……………
…………………………
Tidak ada komentar
Terima kasih telah berkunjung dan membaca artikel ini. Silakan tinggalkan jejak di komentar dengan bahasa yang sopan. Mohon tidak meninggalkan link hidup. Terima kasih.