Pernah melihat anak kecil yang menangis meraung-raung minta dibelikan mainan? Dan belum berhenti menangis jika mainan yang diinginkannya tidak terbeli? Pernah mengamati bocah yang marah dan berteriak-teriak karena diusilin teman? Bahkan, sampai menghentakkan kaki atau melempar mainan?
Kalau iya, bagaimana pendapat Anda? Anda mungkin menganggapnya wajar saja. Ah namanya juga kanak-kanak, ya begitu itu. Coba saja lihat di Taman Kanak-Kanak, isinya ya anak-anak yang sebentar nangis sebentar teriak-teriak, ya seperti itulah bocah. Otaknya belum berkembang dengan sempurna.
Tapi, bagaimana jika sikap kanak-kanak itu muncul secara menetap di tubuh orang dewasa yang notabene adalah atasan Anda di tim kerja? Pernah mengalami berada di dalam sebuah tim kerja dengan leader yang kekanak-kanakan?
Saya sendiri sudah bekerja selama 18 tahun sejak lulus kuliah. Sempat bekerja di Universitas, di sektor swasta, dan di birokrasi. Dari hasil pengamatan sepanjang masa kerja itu, saya menangkap permasalahan leadership yang cukup membuat anggota tim “nyungsep” adalah sikap kekanak-kanakan yang menetap dari para leader-nya.
Saya bukan psikolog ataupun psikiater, dan tidak memiliki latar belakang pendidikan psikologi, meskipun sangat suka membaca buku-buku pengembangan diri. Terlahir sebagai introvert yang senang mengamati dan menuliskan hasil pengamatan, saya mencoba menuangkannya melalui artikel ini. Semata untuk mengolah pengamatan yang tidak tersistem, menjadi sesuatu yang lebih nyata. Bisa dibaca dan dikoreksi.
Maksudnya, sikap kekanak-kanakan yang seperti apa sih? Coba deh perhatikan, pernah merasakan punya atasan atau tim leader yang seperti ini ngga? ....
1. Dominan, selalu ingin tampil dan dilihat sebagai yang terbaik atau nomor satu dalam segala hal. Bawahan tidak boleh nampak cemerlang, yang boleh cuma atasan. Selalu ingin jadi pusat perhatian. Yang lain kudu minggir. Kalau ada anggota tim yang ikut nampil, langsung digibas dan digilas.
2. Harus menang dan selalu benar pada setiap kesempatan, “haram” disalahkan.
3. Merasa memiliki segalanya, posesif terhadap bawahan. Bahkan di hari libur sang atasan juga mengajak dan mengharuskan si bawahan untuk ikut kegiatannya. Walah, repot banget ya jadi bawahan kalau seperti ini, mau nolak takut, mau nerima tersiksa. Korban perasaan deh jadinya.
4. Kepo abis (Knowing every particular object = kepo). Mau tahu segala hal yang dilakukan bawahan. Seolah-olah tidak boleh ada sekejap waktupun bagi para anggota tim untuk bisa “me time” dan berkegiatan tanpa keterlibatan atasan. Semua hal yang dilakukan harus diketahui atasan. Padahal kalau hal-hal yang sifatnya tidak prinsip dan di luar urusan pekerjaan, apa urgensinya? Ngga bebas banget kan?
5. Doyan ngambek jika kemauannya tidak dituruti. Persis seperti bocah yang nangis kalau tidak dibelikan mainan. Semua kemauannya harus dipenuhi. Dan kalau sudah ngambek, kelar hidup loe. Yang lucu, kemauannya nyuruh ina inu untuk dituruti seringkali tidak berhubungan dengan pekerjaan tim. Nyebelin kan. Tapi, ancaman terburuk adalah KPI bawahan bisa merah.
6. Bisa teriak dan ngamuk jika melampiaskan kemarahan. Kontrol emosinya ngga bagus banget. Persis bocah. Saat anggota tim melakukan kesalahan atau hal yang tidak berkenan, bisa marah teriak-teriak sambil nunjuk-nunjuk hidung dan mengusir keluar ruangan. Gebrak meja atau melempar barang. Ngajak berantem banget yak! Bisa nangis bombay tuh bawahan.
Kalau pernah punya atasan kekanak-kanakan, selamat! Teruskan membaca ya. Pernah terpikir ngga, kenapa sih sikap kanak-kanak itu menetap di perilaku atasan kita? Kalau ditilik dari teori-teori psikologi, mungkin para psikolog lah yang bisa menjelaskan.
Saya di sini coba menghubungkan soal perilaku ini dengan perilaku kanak-kanak yang kadang muncul pada diri saya sendiri. Juga saya amati kadang muncul pada suami. Bahkan, ada satu dua sikap kanak-kanak yang sepertinya menetap dan selalu muncul ketika ada trigger. Contohnya, marah-marah sama anak karena anak ngga mau mengikuti keinginan kita. Nah loh.
Nah, pada sebuah konsultasi keluarga di sebuah workshop parenting, saya dan suami mempelajari bahwa segala hal yang terjadi di masa lalu sejak dilahirkan hingga dewasa, sangat berpengaruh terhadap diri yang sekarang. Bagaimana kami diperlakukan dan dididik serta di lingkungan mana kami tumbuh memberi andil terhadap sikap dan perilaku kami ketika dewasa.
Dari sana, saya melihat ada benang merah bahwa sikap kekanakan para atasan kita bisa jadi muncul dari sebab yang sama. Berinteraksi dengan tekanan pekerjaan, penyebab sifat kekanakan yang muncul menetap pada atasan kita mungkin disebabkan oleh tiga hal utama ini:
1. Hutang Pengasuhan di Masa Kecil.
2. Buah dari pendidikan sepanjang hidupnya
3. Latar belakang kehidupan
1. Hutang Pengasuhan di Masa Kecil, bisa dijelaskan sebagai hal-hal penting dari orang tua yang seharusnya mengisi relung hati dan otak anak di usia 0 sd 15 tahun (sampai aqil balighnya), namun tidak didapat oleh sang anak. Bisa jadi karena orang tua lengah, tidak paham, terlalu sibuk bekerja, atau abai.
Istilah hutang pengasuhan saya dengar dari Psikolog Elly Risman dan penggiat Komunitas Ayah Hebat Irwan Rinaldi. Dalam dual parenting, ayah dan ibu berkontribusi secara proporsional memberikan pengasuhan pada anak-anaknya. Saat ada masa-masa penting yang terlewat, ada kekosongan pada diri anak yang menetap hingga ia dewasa. Sehingga, ruang kosong itu selalu minta diisi.
Misalnya ruang kosong akan sosok ayah pada diri seorang anak yang semasa kecil kurang mendapatkan perhatian dari ayahnya. Dalam berbagai workshop pengasuhan anak yang pernah saya ikuti bersama suami, para psikolog mengingatkan bahwa kurang perhatian ayah akan membuat anak perempuan tumbuh menjadi kurang percaya diri. Kurang kedekatan antara ibu dan anak laki-laki akan membuat si anak kurang dapat menghargai perempuan.
2. Buah dari pendidikan sepanjang hidupnya, bisa dijelaskan sebagai hasil didikan dari beragam tempaan hidup. Pendidikan bukan hanya dari lembaga formal seperti sekolah. Pendidikan awal dari keluarga dan lingkungan tempat seseorang dibesarkan sangat mempengaruhi. Anak-anak yang penakut dan tertekan hingga dewasa muncul karena cara orang tua yang mendidik layaknya diktator. Keras tapi dingin.
3. Latar belakang kehidupan, bisa dijelaskan sebagai segala hal mulai dari segi ekonomi, sosial, budaya, politik dan lainnya yang mewarnai kehidupan seseorang. Kehidupan berumah tangga sangat mempengaruhi cara seseorang dalam bekerja dan mengambil keputusan-keputusan penting. Kehidupan seks yang sehat, hubungan antar anggota keluarga yang hangat, memberi dampak yang berarti. Dengan siapa seseorang bergaul dan berkawan dekat juga membentuk sikap seeorang.
Lantas, bagaimana tips menghadapi atasan yang kekanakan?
Tunggu, di sini saya tulis 7 tips yang aman. Aman artinya Anda kemungkinan terhindar dari konflik dan tim kerja dapat mencapai tujuan akhir sampai selesai tanpa ada badai. Modal utama sebelum melaksanakan tips ini cuma satu yaitu : “Paham diri sendiri ”.
Wajib banget kita pahami dulu karakter dan sifat diri sendiri, bagaimana kecenderungan kita dalam bersikap dan mengambil keputusan. Bagaimana kecenderungan kita dalam hubungan sosial. Apakah tipe dominan atau tidak. Cenderung introvert, ekstrovert, atau ambivert? Posisikan diri sebagai anggota tim kerja yang memiliki kontribusi terhadap keberhasilan tim.
Kemudian terapkan ketujuh cara sederhana ini:
1. Tunjukkan Kualitas
2. Plain Mode on
3. No Frontal
4. Verbal Limit
5. Jinak-Jinak Merpati
6. Berikan tanpa Mengumbar
7. Cetak Poin
Begini penjelasannya:
1. Tunjukkan Kualitas
Sebagai bawahan juga sebagai anggota tim kerja, Anda punya kemampuan yang dibutuhkan tim. Tunjukkan kualitas pekerjaan yang anda hasilkan sebaik yang bisa Anda optimalkan. Do your best lah pokoknya. Karena ini tim, maka Anda tidak bisa berkualitas secara mandiri. Tapi minimal, jika Anda menunjukkan kualitas, orang di sekeliling Anda akan respek.
Bahkan mungkin akan menginspirasi dan mempengaruhi anggota tim lainnya untuk memiliki standar kualitas yang sama. Jika Anda berkualitas, akan menutup celah Anda dipersalahkan tanpa sebab oleh atasan yang kekanakan. Kalaupun terjadi, orang-orang yang mengenal Anda dalam bekerja akan bisa menilai sendiri, siapa yang layak diapresiasi. So, jangan turun kelas, tunjukkan kualitas!
2. Plain Mode on
Akan sangat aman jika Anda bersikap datar bagaikan butter tanpa perasa. Tidak jadi asin, ataupun terlalu gurih. He he he. Maksudnya, bersikaplah wajar saja dalam berbicara dan menanggapi atasan. Tidak perlu berkata-kata terlalu manis dengan senyum yang berlebihan. Cukup aja.
Jaga jarak aman. Ini sangat berguna untuk mengatur emosi. Sehingga, ketika berada di bawah tekanan atasan, kita ngga merasa terlalu menderita dengan harus bersikap manis yang palsu. Jadi, jaga sikap untuk selalu sopan dan wajar.
3. No Frontal
Saat tidak sependapat dengan atasan yang childish, menunjukkannya secara terang-terangan adalah seperti menggali kuburan sendiri. Sekalipun Anda benar, tetapi belum tentu kebenaran itu dipersepsikan sama oleh beliau. Jadi, tetaplah pasang sikap datar, dan pelajari cara berkomunikasi diplomatis yang tidak menjatuhkan salah satu pihak.
Tidak ada pemimpin yang suka dilawan, kecuali pemimpin bijak yang melihat perlawanan anggota tim sebagai bahan introspeksi atas kepemimpinannya.
4. Verbal Limit
Mulutmu adalah harimaumu. Begitu kata pepatah. Batasi verbal sebijak mungkin terhadap atasan yang sering bersikap kekanakan. Apalagi yang gampang marah teriak-teriak kalau emosi dan berada di bawah tekanan tinggi. Bicara hal-hal yang penting saja, itu paling baik.
Selebihnya, alangkah bagusnya dibatasi. Kalau melihat anggota tim nya cool dan ga banyak omong, tapi pekerjaan tim terus maju sesuai timeline, besar kemungkinan beliau akan introspeksi dan malu hati sendiri.
Selebihnya, alangkah bagusnya dibatasi. Kalau melihat anggota tim nya cool dan ga banyak omong, tapi pekerjaan tim terus maju sesuai timeline, besar kemungkinan beliau akan introspeksi dan malu hati sendiri.
5. Jinak-Jinak Merpati
Pandai-pandailah mendekat dan menjauh kepada sang bos pada waktu yang tepat. Ibarat memegang benang layang-layang, tarik dan ulurlah dengan baik. Kalau kelihatan tanda-tanda bakal childish banget, lebih baik menjauh. Kalau sedang kondisi normal, bolehlah agak dekat. Daripada pekerjaan jadi berantakan karena rusak mood melihat sikapnya yang kekanakan kumat, lebih baik mundur teratur dengan tenang.
6. Berikan tanpa Mengumbar
Sebagai anggota tim, berikan apa saja yang bisa Anda berikan untuk kesuksesan tim. Tapi, ketika tim leader sikapnya kekanakan dan sangat dominan, ada baiknya Anda keluarkan kemampuan Anda sedikit sedikit sesuai kebutuhan. Jangan diumbar. Buat semacam “ketergantungan” atasan terhadap Anda. Sehingga, Anda tidak ditipudaya seenaknya, atau dimanfaatkan semena-mena hanya untuk kepentingannya mencari nama. Ini bukan pelit, tapi soal manajemen saja kok.
7. Cetak Poin
Apapun yang terjadi, kesuksesan tim tetap adalah tujuan utama. Itu adalah poin utama yang akan dicetak bukan? Tetapi kadang kita gusar apakah itu bisa tercapai dengan kondisi tim leader yang kekanak-kanakan. Jangan kuatir, selalu ada keajaiban di muka bumi ini.
Adakalanya anggota tim penuh dedikasi, sehingga sebetulnya butuh kesempatan tepat untuk dilihat dan dirasakan oleh tim leader. Sekali beliau menyadari, bisa jadi hatinya tergugah dan kedewasaannya terbit, mengalahkan kekanakannya. Jadi, tetap positive thinking untuk mencetak poin ya.
Adakalanya anggota tim penuh dedikasi, sehingga sebetulnya butuh kesempatan tepat untuk dilihat dan dirasakan oleh tim leader. Sekali beliau menyadari, bisa jadi hatinya tergugah dan kedewasaannya terbit, mengalahkan kekanakannya. Jadi, tetap positive thinking untuk mencetak poin ya.
Pada akhirnya, tidak ada pribadi yang sempurna di dunia ini. Begitupun para pemimpin yang lahir ke dunia ini. Gaya kepemimpinan pun berbeda-beda dan yang terbaik di satu tempat belum tentu di tempat lain. Juga, tidak selamanya sikap kekanakan itu menguasai diri atasan kita. Pastilah ada moment yang bisa dijadikan untuk memberikan pelajaran berharga tentang memimpin sebuah tim dengan lebih dewasa. Jadi, jangan dipikir kelewat serius, sampai kening berkerut. He he he....
Artikel ini murni adalah opini dan wujud pengamatan saya, yang saya olah dalam kata melalui cara berpikir pribadi. Bagaimana saya berpikir, dipengaruhi dari buku-buku yang saya tuliskan di Referensi. Sekiranya tidak setuju atau tidak berkenan dengan opini ataupun artikel ini, mohon diabaikan. Seandainya bermanfaat, alhamdulillah....
Semoga banget yang nulis artikel ini pun bisa jadi leader yang bersikap dewasa yak, minimal leader bagi diri sendiri untuk membawa diri ke arah yang lebih baik. Aamin deeh.... (Opi)
Referensi
Alvin Wibowo. 2015. Day-to-Day Plan Success Plan. 70 Panduan Singkat, Inspiratif, dan Aplikatif untuk Mencapai Kesuksesan di Tempat Kerja. Penerbit Grasindo, Jakarta: 235 hlm.
Mutia Sayekti. 2017. Berdamai dengan Diri Sendiri- Seni Menerima Diri Apa Adanya. Psikologi Corner, Jakarta: viii + 216 hlm.
Meta Wagner. 2017. What’s Your Creative Type. Penerbit Grasindo, Jakarta xix + 247 hlm.
Goeffrey Moss. 1997. The Daily Tonic for People Who Want to Succeed. Moss Associate Ltd., Wellington: 151 hlm.
Allan and Barbara Pease. 2001. Why Men Can Only Do One Thing at A Time & Women Never Stop Talking. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta: ix + 121 hlm.
Mantabb bu opii... 😊
BalasHapusSaya merasakannya mba. Secara alami, hampir semua saya lakukan. Hanya agar atasan kenal saya karena kemampuan, bukan karena kedekatan.
BalasHapusBener bgt mba. Dan ak memilih plain mode on :D
BalasHapusKereen mbak Opi.. ajarin bikin web bagus kayak ginii..
BalasHapusHal ini sering dihadapi orang, aku sendiri juga ngalaminnya. Ngadepin atas yg childish, dominan, poin² diatas itu semua.
BalasHapusBahkan kala itu aku belum bisa menghadapi secara baik mba. Dan membekas pada mental health aku.
Dan cukup waktu utk healing, setelah resign dr pekerjaan itu.
Alhamdulillah, sekarang dapet kantor yg leader timnya tak seperti dulu lagi.
Siapa yang bekerja, tentunya mengalami salah satu dari hal di atas. Seperti atasan selalu menang. Repot juga ya mendapat atasan yang ga bisa dikritik, dan ga punya jiwa leadership.
BalasHapus