Peduli dan Cermat: Serba-Serbi Diabetes pada Anak



“Bu, hari ini Adek makan es krim tiga.  Udah dibilangin satu aja, ngga ngerti deh Adek. Udah dilarang Mba juga, tetap aja bandel tuh Adek.  Capek deeeeh,” begitu laporan Si Sulung kepada saya.  Sore itu sudah menjelang Maghrib, dan saya baru saja menjejakkan kaki di teras rumah sepulang dari kantor. Seperti biasa, kalau saya pulang kerja, begitu pintu pagar dibuka akan berhamburan kisah dari anak-anak saya.

Saya mendengarkan sambil pasang tampang kepo.  Supaya bocahnya senanglah. Kalau anak-anak belum selesai cerita, saya ngga akan komen apa-apa.

“Bu, Adek dihukum dong. Gak adil nih. Kan udah dibilangin makan yang manis-manis dibatasin.  Ini masih makan es krim tiga sekaligus. Itu kan manis semua Bu,” protes Si Sulung yang sudah duduk di kelas IV SD.

Adiknya hanya senyum-senyum. Usianya yang baru enam tahun masih menyisakan sifat-sifat anak balita.  “Abis es krim nya enaaaak,” ujarnya.  Membuat saya nyengir tapi kesal.

“Hmmm, Adek kenapa es krimnya dihabisin sendiri. Tiga itu kan satu untuk Adek, satu untuk Mas, dan satu untuk Mba.  Kok dimakan semua sama Adek?” tanya saya.  Si bungsu lagi-lagi menjawab,” Abis es krimnya enaaaak. Aku kan suka es krim”

Saya dan kedua anak saya memang suka makan es krim, tapi saya berusaha biasakan untuk membatasi diri 
Sambil masuk ke dalam rumah, saya berkata,”Walaupun suka, ada batasnya Dek. Satu saja cukup ya. Kalau terlalu banyak, Adek jadi ngga mau makan sayur dan buah deh. Kan Adek juga udah makan kue, permen, coklat, roti-roti, dan snack yang manis dan berlemak.  Terlalu banyak makan seperti itu bisa bikin Adek jadi kelebihan berat badan terus kelebihan lemak tubuh terus bisa mengundang macam-macam penyakit deh.  Termasuk Diabetes.  Adek ga mau sakit kan?”

“Iya nih Adek, kena Diabetes baru tahu,” timpal kakaknya.  “Apalagi Adek senengnya tidur-tiduran aja, ga suka main bola dan balap sepedah kayak aku. Olah fisik dong De.”

Si Sulung memang sudah lebih dulu tahu tentang Diabetes. Kakeknya termasuk salah satu yang terkena penyakit ini dan ia melihat sendiri bagaimana nenek, ayahnya dan ipar-ipar saya merawat Kakek.  Otomatis, kami sering terlibat percakapan yang secara tidak langsung membahas penyakit ini. 

Ketika pada Rabu tanggal 31 Oktober 2018 lalu saya berkesempatan menghadiri undangan Media Briefing untuk para jurnalis dan blogger di Kementerian Kesehatan RI bertema “Anak Juga Bisa Diabetes”, serta merta wawasan dan pengetahuan ditransfer kepada anak, terutama yang Sulung.

Suasana Media Briefing "Anak Juga Bisa Diabetes" di Kemenkes RI Jakarta, Rabu 31 Oktober 2018 

Pada kesempatan Media Briefing tersebut, pemaparan Ketua Umum Pengurus Pusat Ikatan Dokter Anak Indonesia (PP IDAI)  DR. dr. Aman Bhakti Pulungan Sp.A (K) seputar Diabetes pada anak membuat saya semakin peduli untuk cermat memindai gejala.  Demikian pula penjelasan tentang Diabetes sebagai penyakit tidak menular yang penting dicermati masyarakat, oleh Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular (P2PTM) dr. Cut Putri Arianie, MH.Kes menyadarkan saya bahwa penyakit ini memang tidak main-main dampak komplikasinya untuk masa depan anak Indonesia.

Terlebih lagi, saat itu, kehadiran Fulki Baharuddin Prihandoko, anak penyintas Diabetes berusia 12 tahun bersama kedua orang tuanya yang berbagi pengalaman untuk survive dengan Diabetes, sungguh mengharukan.  Tidak bisa tidak, awareness kita akan penyakit ini memang layak untuk ditingkatkan. 

Anak Juga Bisa Terkena Diabetes


Diabetes -nama penyakit yang sudah akrab di telinga masyarakat- bukan hanya menyerang orang dewasa. Anak-anak juga bisa terserang penyakit ini, baik Diabetes tipe 1 maupun Diabetes tipe 2. Data IDAI menyebutkan angka kejadiannya pada anak usia 0-18 tahun meningkat hingga 700% dalam kurun waktu 10 tahun. Dr. Aman menjelaskan bahwa kecenderungan  Diabetes tipe 1 lebih banyak terjadi pada anak-anak dibanding Diabetes tipe 2.

Diabetes mellitus (DM) atau penyakit kencing manis adalah salah satu jenis penyakit tidak menular, merupakan suatu kumpulan gejala penyakit yang ditandai oleh meningkatnya kadar gula darah yang melebihi nilai normal berlangsung secara kronis (menahun). 

Kadar gula di dalam darah kita, sebaiknya dijaga dalam kisaran normal yaitu antara 80-150 mg/dl.  Biasanya toleransinya sampai 200 mg/dl. Ini disebut kadar gula darah sewaktu.  Dalam keadaan berpuasa, kadar gula darah di dalam tubuh kita harusnya lebih rendah dari kadar gula darah sewaktu, sebab asumsinya saat berpuasa maka asupan karbohidrat kurang. 

Normalnya kadar gula darah puasa ada di kisaran 70-104 mg/dl. Beberapa menyebutkan angka batas 126 mg/dl.  Apabila dalam keadaan berpuasa kadar gula darah kita sudah tinggi, artinya ada gangguan metabolisme yang bisa jadi ditengarai sebagai DM. 

Lalu, kenapa gangguan metabolisme itu bisa terjadi di dalam tubuh kita, baik anak-anak maupun orang dewasa?  Hal ini disebabkan oleh adanya gangguan pada hormon insulin yang dihasilkan kelenjar pankreas.  Insulin berfungsi mengatur penggunaan glukosa oleh otot, lemak atau sel-sel lain di tubuh kita.

Hormon insulin membantu proses pengubahan glukosa (gula darah) menjadi glikogen (gula otot). Nah, apabila jumlah insulin dalam tubuh berkurang, maka kadar gula di dalam darah akan meningkat, karena jumlah insulin tidak cukup untuk mengubah gula darah menjadi gula otot.  Akibatnya, metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein dalam tubuh akan terganggu.

Kenapa jumlah insulin bisa kurang?  Apakah pankreas memproduksi insulin kurang atau terlalu banyak glukosa yang masuk ke dalam darah tubuh kita?  Ini ada hubungannya dengan dua jenis tipe Diabetes yaitu tipe 1 dan 2 yang sangat mungkin terjadi pada anak.  Selain DM tipe 1 dan 2, pada orang dewasa bisa terjadi DM tipe lainnya dan pada ibu hamil dapat terjadi DM Gestasional.

Diabetes Tipe 1 (DM Tipe 1)


DM tipe 1 disebabkan oleh interaksi dari banyak faktor antara lain kecenderungan genetik, faktor lingkungan, sistem imun, dan sel beta pankreas yang perannya masing-masing terhadap proses DM tipe 1 masih belum diketahui secara jelas.  Sel beta pada pankreas adalah penghasil insulin.  Kerusakan pada sel ini yang disebabkan oleh interaksi faktor yang disebutkan di atas, menyebabkan pankreas gagal memproduksi insulin. 

Karena tidak ada insulin, glukosa darah tidak diubah menjadi glukosa otot.  Kadar gula dalam darah pun akan meningkat tinggi.  Pada anak-anak DM tipe 1 ditandai oleh gejala seperti ini:

1. Anak jadi banyak banyak makan (di atas batas normal)
Meski baru saja makan, anak terus merasa lapar.  Sebab, insulin yang tidak memadai membuat gula tidak dapat diubah menjadi energi.  Gula darahnya menumpuk, sementara gula otot tak terbentuk. 

2. Anak jadi banyak minum (di atas batas normal)
Ternyata, ketidakmampuan tubuh memproduksi hormon insulin menyeebabkan tubuh mengalami dehidrasi.  Sehingga, anak merasa haus terus menerus walau sudah minum banyak

3. Anak jadi sering dan banyak buang air kecil, dan mengompol walau sudah usia sekolah
Rasa haus berlebihan yang membuat anak juga minum terus menerus tidak diimbangi dengan kemampuan tubuh menyerap cairan dengan baik.  Jadilah anak jadi sering buang air kecil lebih bnayak dari frekuensi normal, terutama di malam hari, bahkan mengompol.

4. Penurunan berat badan anak terjadi drastis dalam 2 sd 6 minggu sebelum terdiagnosa
Walau makan sering dan banyak, tubuh anak tidak bertambah gemuk, bahkan cenderung kehilangan berat badannya dalam jumlah yang signifikan.  Sebab, tubuh tidak mampu menyerap gula darah sehingga jaringan otot dan lemak jadi menyusut. 

5. Anak jadi kelelahan dan mudah marah
Gulad ari makanan yang dimakan anak tidak dapat diserap dengan baik oleh tubuh anak sehingga membuatnya kekuranagn energy.  Rasa jadi cepat lelah pun mendera.  Akibatnya anak jadi cenderung lekas marah, atau murung, dan emosi tidak terkontrol dengan baik. 

6. Tanda kedaruratan lainnya seperti sesak napas, dehidrasi, shock, dan napas berbau keton. 

Sejak September 2009 hingga September 2018, IDAI mencatat data bahwa kasus DM tipe 1 pada anak terbanyak ditemukan di kota besar seperti DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Timur, dan Sumatera Selatan.  Besar kemungkinan kasus DM tipe 1 di daerah non kota besar tidak tercatat karena tidak terlaporkan. 

Dr . dr. Aman Bhakti Pulungan Sp.A (K) 
Penyakit DM tipe 1 bisa menimpa anak siapa saja yang “terpilih” oleh Tuhan. Tidak dapat dicegah.  Semacam taqdir yang ketika kita menyadarinya akan terasa bagai “kiamat kecil”. 
Penyebab DM tipe 1 secara pasti masih menjadi misteri yang masih terus berusaha disibak oleh para peneliti bidang kesehatan. 

Menurut IDAI, di Indonesia, DM tipe 1 pertama kali didagnosis paling banyak pada kelompok umur 10-14 tahun yaitu 403 kasus, usia 5-9 tahun sebanyak 275 kasus, kelompok usia kurang dari 5 tahun sebanyak 146 kasus, dan paling sedikit adalah anak di atas 15 tahun sebanyak 25 kasus. 

Kisah Anak Penyintas DM tipe 1


Fulki Baharuddin Prihandoko atau akrab disapa Uki adalah salah satu anak Indonesia penyintas DM tipe 1. Putra pasangan Bapak Konang Prihandoko dan Ibu Aisyah ini hadir dalam Media Briefing di Kemenkes RI untuk berbagi kisah dengan para jurnalis. Ibu Aisyah bercerita, Uki terdiagnosa DM tipe 1 saat berusia 9 tahun saat duduk di kelas 4 SD.

Fulki Baharuddin Prihandoko (12 tahun) , penyintas DM tipe 1
dan survival kitnya berisi insulin, jarum suntik dan peralatan lainnya
Ciri-ciri yang tampak pada Uki sebelum terdiagnosa, persis seperti 5 ciri yang disampaikan dr Aman di atas. Bahkan, Ibu Aisyah sering bingung karena ada banyak semut di toilet atau di lantai padahal tidak ada sumber gula.  Tak disangkanya itu dari urin Uki yang mengandung kadar gula begitu tinggi.  Sampai 700 mg/dl! Anehnya Uki tidak sampai hilang kesadaran walau sudah sangat lemas.

Ketika menghadapi kenyataan Uki menderita DM tipe 1, Ibu Aisyah dan Pak Konang serasa mengalami “kiamat kecil”. Namun, kekuatan sekaligus kepasrahan membuat mereka berdua kini masih bersama untuk mengayomi Uki tumbuh dan menjadi penyintas.  Uki survive.  Dengan ketelatenan Ibu Aisyah membangun mental Uki untuk tetap semangat dan percaya diri menjalani hidup, Uki bisa.

Fulki sedang menyuntikkan insulin ke tubuhnya sebelum makan 

Hidup Uki sangat tergantung pada suntikan insulin rutin ke dalam tubuhnya. Bocah berusia 12 tahun yang duduk di kelas 1 SMP Al Azhar Pusat ini sudah terbiasa menyuntikkan sendiri insulin ke tubuhnya.  “Uki juga sudah paham harus makan apa dan sebanyak apa.  Dia sudah bisa mengatur dan menuruti aturan,” kata Ibu Aisyah. Keluarga ini bersyukur bahwa sekolah dan lingkungan juga mensupport Uki untuk tetap survive.

Fulki didampingi ayah dan ibunya menceritakan kisahnya 
Saat mendengar keluarga ini berkisah, tidak terasa air mata saya menitik.  Begitu pula saat menceritakan ulang kisah ini kepada anak-anak saya di rumah.  Membayangkan biaya yang harus dikeluarkan untuk survive DM tipe 1,  membuat saya down.  Bagaimana jika DM tipe 1 menimpa anak-anak dari orang tua yang berpendapatan di bawah UMR?  Bagaimana mereka bisa survive untuk membeli insulin yang hanya dicover selama 3 bulan oleh BPJS? 

Inilah yang sedang diperjuangkan oleh IDAI dan Kemenkes RI.  Agar perlahan-lahan sistem pengobatan dapat diperbaiki dan menjangkau kalangan menengah ke bawah. 

Fulki bersama ayah dan ibunya 

Bahkan dr Aman mengatakan, sebanyak 3 dari 5 pasangan akhirnya berpisah karena tak sanggup mengemban amanah anak dengan DM tipe 1.  Selayaknyalah ketegaran keluarga Konang patut diapresiasi dan dijadikan contoh untuk kita semua.

Diabetes Tipe 2 (DM Tipe 2)


DM tipe 2 pada anak erat kaitannya dengan pola hidup yang kurang sehat seperti berat badan berlebih (overweight), obesitas, kurang aktivitas fisik, hipertensi, diet tidak seimbang, dan merokok. 

Pada DM tipe 2, anak biasanya terdiagnosis pada usia pubertas atau lebih.  Biasanya ditandai area yang lebih gelap pada ketiak dan leher.  Tanda lainnya kurang lebih seperti DM tipe 1 seperti sering haus, sering lapar, sering buang air kecil, dan berat badan menurun cepat tanpa diketahui penyebab yang jelas. 

Bila ketiga gejala sering lapar, haus, dan buang air kecil di atas dirasakan, sangat mungkin sudah mengalami peningkatan kadar gula darah sejak 6 tahun yang lalu.  Untuk itu disarankan jangan menunggu gejala DM.  Lakukan skrining kesehatan yaitu pengukuran kadar gula darah setahun sekali di Posbindu terdekat. 

Para Narasumber dan MC seusai Media Briefing
DM tipe 2 sangat berhubungan erat dengan obesitas pada anak.  Menurut dr Aman, peningkatan DM tipe 2 diketahui sangat dipengaruhi oleh obesitas. Karena itu, pola hidup sehat sangat dianjurkan untuk mencegahnya. 

Ini dia yang seharusnya dilakukan orang tua dan ditularkan pada anak-anak tentang pola hidup sehat:

1. Lakukan prinsip 5210 untuk anak , yaitu 5 porsi sayur dan buah setiap hari, 2 kali maksimal 2 jam duduk diam, 1 kali aktivitas fisik minimal sejam sehari , dan 0 gula dan tambahan gula pada makanan anak.

2. Pertahankan berat badan ideal dengan pola makan sehat dan olahraga. Jika berat badan anak berlebih, upayakan kurangi 5-10% dengan diet rendah kalori serta lemak untuk menurunkan risiko DM. 

3. Kurangi minuman manis dan bersoda

4. Batasi makanan yang mengandung lemak tinggi, makanan yang digoreng, dan makanan dari tepung-tepungan

5. Hindari gula murni dan makanan yang mengandung gula murni

6. Batasi penggunaan gadget , yang bisa membuat anak kurang aktivitas fisik

Peduli dan Cermati Komplikasi Akibat Diabetes


Awareness dari orang tua sangat dibutuhkan untuk menangani DM pada anak.  Satu hal yang harus digarisbawahi adalah, yang lebih berbahaya bukan semata DM nya tetapi komplikasi penyakit yang timbul dari kondisi DM.  Mulai dari kerusakan pada pembuluh darah besar, pembuluh darah halus, dan penurunan kesadaran akibat krisis hiper ataupun hipoglikemia. 

Kerusakan pada pembuluh darah besar dapat menyebabkan stroke iskemik atau stroke hemoragik, penyakit jantung koroner, dan impotensi. Kerusakan pada pembuluh darah halus dapat mengakibatkan gangguan penglihatan hingga kebutaan, kerusakan syaraf, dan gagal ginjal.  Sementara kadar glukosa yang sangat tinggi (lebih dari 300 mg/gl) atau disebut krisis hiperglikemia dan glukosa darah rendah (kurang dari 70 mg/dl) atau hipoglikemia dapat menyebabkan gangguan penurunan kesadaran. 

Betapa beratnya komplikasi yang terjadi pada organ tubuh jika DM tidak dikelola bukan?  Itulah sebabnya kata dr Aman, awareness make differences. Kepedulian kita akan membedakan nantinya tindakan kita sehingga dapat mencegah dan mengelola DM dengan tepat. 

dr. Cut Putri Arianie, MH.Kes
Kepedulian terhadap penanganan DM bukan menjadi tugas Kemenkes semata.  Ini wajib dikolaborasikan seluruh entitas negara.  Dr Cut meminta agar orang tua turut berperanserta peduli terhadap DM dan melakukan pencegahan sedini mungkin agar menyelamatkan keluarga dari Diabetes.  “ Kami tidak bisa menjangkau seluruh lapisan masyarakat di 34 provinsi sendirian.  Kami mengajak semua untuk sama-sama peduli dan melakukan pencegahan bersama-sama,” ujar dr Cut.

Kultur Indonesia yang banyak memiliki makanan tradisional yang manis juga apabila tidak diimbangi dengan aktivitas fisik yang cukup akan memicu kelebihan berat badan.  Apalagi sekarang sangat menjamur pesan antar beragam makanan secara online, yang memudahkan anak makan apapun tak terkontrol.  Apa yang masuk ke tubuh, itulah yang akan mendefinisikan tubuh kita.  Jadi kontrol bijak ada di orang tua. 

Nah, mulai sekarang cek rutin yuk kadar gula anggota keluarga kita supaya terkontrol dan cepat tertangani jika ada gejala yang tak biasa. Walaupun banyak tantangan, demi kesehatan keluarga yuk mulai ingat lagi untuk pola makan sehat seimbang, olahraga, dan banyak bersyukur. Ini sekaligus mengingatkan diri saya sendiri sih, yang sering lupa olahraga kalau keasyikan membaca sambil ngemil dan goler goler di rumah ketika libur. Hayuk laaah…… (Opi)

1 komentar

  1. Wah si adek kuat bener makan es cream sehati 3 kali, pasti kenyang tuh hi... Hi...

    BalasHapus

Terima kasih telah berkunjung dan membaca artikel ini. Silakan tinggalkan jejak di komentar dengan bahasa yang sopan. Mohon tidak meninggalkan link hidup. Terima kasih.