“…… Janinnya tidak berkembang. Saya sarankan
dikeluarkan. Kalaupun dipertahankan
nanti akan gugur.”
Kalimat terakhir dokter kandungan siang
tadi masih terngiang di telinga menjelang pejam mataku di tengah malam. Usia kehamilanku memasuki pekan ke-14. Ini kehamilan yang kedua. Sebelumnya di kehamilan yang pertama, aku
mendengar kalimat sama persis namun dari dokter yang berbeda.
Karena baru pertama kali hamil pada waktu
itu, dan sangat berharap memiliki anak, aku dan suami tidak menuruti nasehat
dokter kandungan untuk mengeluarkan janin yang tak berkembang. Kami berdua masih berharap ada keajaiban dari
Tuhan. Berharap mukjizat.
Namun, kata-kata dokter kandungan ternyata
benar. Tak sampai dua pekan kemudian, flek yang kualami semakin menghebat. Puncaknya, di akhir pekan tengah malam, aku terpaksa
masuk UGD. Si janin benar-benar keluar saat aku sedang di kamar mandi. Darah
merah yang segar dan rasa sakit yang sangat, mengiringi derai air mataku malam
itu.
Aku menjalani operasi kuret untuk
membersihkan sisa-sisa jaringan dari rahim. Perlahan, berusaha menerima
penjelasan dokter bahwa kemungkinan sel telurku berkualitas buruk. Sebuah
alasan genetis. Akibatnya, meski berhasil terjadi pembuahan, perkembangan calon
janin terhenti di fase tertentu, tak bisa lanjut.
Penjelasan yang sama dari dokter yang
berbeda kuperoleh di kehamilan kedua ini. “Kenapa bisa begini ya dok?” tanyaku
pada dokter tadi siang. Aku diantar suamiku kontrol ke dokter kandungan karena
mengalami gejala yang sama seperti kehamilan pertama dulu. Flek terjadi dan tak kunjung berhenti.
Dokter menjelaskan bahwa kasus janin tidak berkembang dapat terjadi disebabkan banyak hal. Kualitas sel telur, ada infeksi, kondisi plasenta, dan beberapa sebab lain yang terus terang tak bisa segera kupahami. Aku masih terlalu sedih membayangkan akan mengalami kejadian seperti kehamilan yang pertama. Pilu merajai hatiku.
Jadilah saran dokter siang tadi untuk
mengeluarkan janin tak berkembang pada kehamilan kedua ini terus terngiang di
telinga menjelang tidur malamku. Aku dan
suami memutuskan untuk mendiskusikan ulang.
“Kita tenangkan diri dulu. Nanti kalau sudah tenang baru kita ambil
keputusan,” begitu pendapat suamiku.
Setelah dibicarakan lebih lanjut berdua,
hari berikutnya kami memutuskan untuk mencari second opinion dari dokter kandungan lain di rumah sakit swasta.
Berdasarkan rekomendasi teman, kami mendatangi dokter kandungan di sebuah rumah
sakit swasta yang biayanya cukup mahal. Tak
apalah, pikir kami, namanya juga usaha.
Kukuatkan mentalku dengan cara menyebut
asmaNya dalam hati, saat dokter kandungan rekomendasi teman mengatakan hal
serupa dengan dokter-dokter sebelumnya yang pernah kami datangi. Sang dokter menjelaskan, bahwa memang ada
sejumlah perempuan yang kualitas sel telurnya kurang baik. Sehingga, setiap
kali hamil tidak pernah berhasil. Janin gugur tak mampu berkembang menjadi jabang
bayi yang sempurna.
“Tergantung kita lihat di tahapan
perkembangannya. Ada pasien saya yang berhasil mempertahankannya hingga lahir,
namun bayi lahir dengan kelainan katup jantung. Ada pula yang menuruti saran
untuk digugurkan setelah dijelaskan risiko yang mungkin terjadi,” kata dokter.
Bahkan ada pasien yang berkali-kali hamil dan
tak bisa berkembang janinnya. Dipastikan
kualitas sel telurnya buruk secara genetis, karena tidak ada indikasi infeksi
atau kelainan plasenta. Lalu sang istri
merelakan suaminya menikah lagi.
Aku tercekat. Kugenggam erat tangan
suamiku dengan tangan kanan, seolah takut kehilangannya. Sementara tangan kiriku
membeku mengelus perut yang masih rata, tapi ada janin yang sedang berusaha
kupertahankan saat ini. Usianya 14
minggu.
Dokter lalu memeriksaku, dalam kondisi
masih flek. Ia sudah tak mendengar bunyi
detak jantung janin. Mimik wajahnya meragu, mengernyit, lalu tertegun. Dokter berusaha tetap tersenyum. Mungkin ingin membesarkan hati pasien?...
Suamiku terdiam menunggu kata-kata dokter selanjutnya. Kami menanti sambil berpandangan. Dokter menjelaskan hasil pemeriksaannya bahwa ia sudah tak mendengar lagi ada denyut jantung janin. Aku dan suami bertatapan sedih.
Pria berjas putih itu lalu menutup
pertemuan dengan kalimat, “Ibu dan bapak saya sarankan kembali saja
pulang. Hentikan semua vitamin ataupun
obat suplemen apapun yang didapat dari dokter sebelumnya. Ibu istirahat ya tenangkan diri, makan yang
bergizi, perbanyak ibadah, hepi hepi aja ya. Datang lagi ke sini dua pekan lagi,”
ujarnya.
Sang dokter kandungan tidak meresepkan
obat atau vitamin apapun. Jabat tangan
yang erat seolah memberi semangat mengiringi kami berdua pamit.
Kami menanamkan prasangka baik. Pulang dan menuruti pesan dokter. Aku mengajukan bedrest kepada atasanku di kantor. Di rumah, aku lebih banyak
berbaring dan sesekali air mata merembes melihat flek merah yang tak kunjung
berhenti keluar dari vagina.
Aku dan suami sepakat untuk menunggu saja
sampai dua pekan lalu kembali kontrol dan berharap ada keajaiban. Kalau dalam masa tunggu itu janin gugur, kami
akan putuskan untuk operasi kuret seperti pada kehamilan pertama. Dalam hati aku berazam, itu tak kan
terjadi.
Rekan kerja yang datang menjenguk
membuatku terhibur. Dua sahabatku Narto
dan Gabe datang membawakan buah apel di sore hari sepulang kerja. Aku berusaha melupakan sejenak kegundahan
atas kondisi kehamilan ini.
Di pekan kedua bedrest, terasa perubahan yang sangat berarti. Flek berhenti. Selama beberapa hari tak ada flek lagi. Muncul
secercah harapan. Apakah janin ini
ditakdirkan Tuhan untuk berkembang? Aku
bersegera kembali kontrol ke dokter.
Mukjizat itu benar ada. Dokter sampai berteriak terkejut ketika
memeriksa dan langsung dapat mendengar bunyi detak jantung janin dengan
jelas! “Bu, sujud syukur bu. Allah masih mengizinkan jantungnya berdetak,”
kata dokter.
Syukurku meluas tak berbatas. “Alhamdulillahirabbil alamiin…..” aku, suamiku, dan dokter berucap nyaris
berbarengan. Airmataku meleleh saking
bahagianya. Tak bisa dijelaskan mengapa
janin yang dua pekan lalu sudah tak terdeteksi lagi denyut jantungnya, kini
sudah tumbuh. Detak jantungnya didengar
jelas oleh dokter yang memeriksa. Aku dan suami pun menurut nasihat dokter
untuk merawat kehamilan kedua ini baik-baik.
36 pekan berikutnya, jabang bayi yang
hampir saja digugurkan ini lahir sungsang, leher terbelit tali pusar. Seorang bayi laki-laki sehat yang membuatku lalu
dipanggil Ibu. Rasanya campur baur keharuan
menyadari kuasa Tuhan ini.
Belajar dari kejadian itu, aku dan suami
saling membesarkan hati. Kami belajar tentang rasa memiliki anak. Jika Allah berkehendak, apapun bisa
terjadi. Ia masih berkehendak untuk
menitipkan jabang bayi di rahimku, untuk dilahirkan dan dibesarkan. Anakku bukan milikku. Anak kita bukan milik kita. Ia milik Sang Pemilik Hidup, yang dititipkan.
Jabang bayi kami tumbuh sehat. Hingga aku diberi kesempatan olehNya untuk
hamil kembali saat si sulung berusia hampir tiga tahun. Padahal, sama sekali
tak berharap untuk hamil. Pasalnya, aku
sedang dalam tahap seleksi penerimaan beasiswa Pemerintah Belgia yang
mensyaratkan keberangkatan tidak dalam kondisi hamil.
Campur aduk rasanya ketika melihat dua
garis jelas pada test pack saat itu.
Antara senang tapi sedih dan takut.
Senang, karena diberi kesempatan lagi oleh Tuhan untuk hamil. Sedih, karena sudah pasti kena diskualifikasi
beasiswa. Takut, karena pengalaman janin
tak berkembang pada kehamilan sebelumnya.
Kukuatkan hati menerimanya. Kulangitkan
syukur. Suamiku merespon dengan sangat positif.
Dibesarkannya hatiku. Ia
menyarankan untuk cari beasiswa di dalam negeri saja, yang memungkinkan tetap
kuliah dalam keadaan hamil. Aku pun menurut.
Bulan-bulan berikutnya aku menikmati pergi
ke kampus untuk kuliah pascasarjana dengan beasiswa dari kantor tempatku
berkerja. Aku memilih kampus yang dekat dengan rumah. Mengingat, nantinya akan menjalani kuliah sambal hamil
dan menyusui. Jarak kampus yang dekat
akan memudahkanku. Begitulah
pertimbanganku dan suami.
Berangkat ke kampus, aku membawa dua
anak. Satu di dalam perut, satu
kugandeng. Saat itu aku kesulitan
mendapatkan pengasuh, sementara si sulung tidak mau dititip di daycare.
Taka ada pilihan lain kecuali membawa sulungku yang berusia 3 tahun itu
ke kampus saat aku kuliah. Dia diijinkan
duduk di bangku paling belakang ruang kuliah, sementara aku duduk di bangku
deretan depan untuk mengikuti kuliah.
Sulungku selalu duduk tenang sambil menggambar,
mewarnai atau main robot-robotan selama kuliah berlangsung. Ia tak gaduh atau merusuh sama sekali. Kadang bocah laki-laki itu tertidur kelelahan. Dosen-dosenku maklum. Mereka tidak keberatan ada anak usia tiga
tahun di bangku paling belakang ikut nimbrung.
Sambil kuliah, aku kadang masih diliputi
rasa was-was pada awal masa kehamilan yang ketiga. Muncul rasa kuatir, kejadian
seperti pada kehamilan pertama dan kedua terjadi lagi. Namun kukuatkan hati, dan berusaha untuk
ikhlas. Setiap kali merasa tidak enak di
perut dan pergi ke toilet untuk mengecek, lega rasanya karena tidak ada
flek. Selebihnya, aku berserah diri.
Kegiatanku cukup padat saat hamil yang
ketiga ini. Selain kuliah, anak pertama
sedang butuh banyak perhatian juga.
Meski cuti bekerja untuk tugas belajar, namun kadang-kadang aku masih diminta
membantu dalam beberapa kegiatan kantor tempatku bekerja.
Memasuki bulan ke tujuh, rasa was-was
kembali hadir. Beberapa kali muncul
flek. Trauma masa lalu tiba-tiba
menyeruak kembali. Aku berusaha
menenangkan diri. Berusaha berpikir
positif bahwa kandunganku cukup kuat sampai dilahirkan. Kalaupun tidak, aku
pasrah.
Ternyata Tuhan masih mengizinkanku untuk
menimang bayi lagi. Seorang bayi perempuan lahir dari kehamilan yang ketiga
ini, menjadi pelengkap kebahagiaan yang tak pernah disangka-sangka. Rasa syukurku
tak terhingga.
Penuh semangat kuselesaikan kuliah
pascasarjana dan tetap memberikan ASI eksklusif pada bayiku. Penuh perjuangan, karena saat itu kondisi
fasilitas umum baik di kantor dan kampus belum memadai untuk mendukung ibu
menyusui.
Aku memerah ASI di mana saja
sebisanya. Kadang di pojokan ruang
kuliah (dengan pengertian beberapa rekan mahasiswa untuk keluar ruangan),
kadang juga di mushalla kampus yang tidak ada hijab antara shaf ikhwan dan
akhwat. Namun, sangat kuhindari untuk
pumping di toilet karena pertimbangan sanitasi.
Di kantor, aku kerap memerah ASI di bawah
meja kerja. Kadang, jika beruntung bisa
dapat ruang rapat yang sedang tidak dipakai sehingga bisa dipinjam berikut
kuncinya. Bila mengingatnya, ada rasa iri karena sekarang sudah banyak ruang pumping di kantor, kampus, dan di
fasilitas umum. Sehingga, tak kesulitan lagi para ibu untuk memerah ASI.
Satu hal yang sangat kusyukuri, adalah supporting system yang terbentuk dari keluarga. Suami, ibu, bapak, kakak, dan adik semuanya
memberikan dukungan yang kuat agar aku tetap bisa kuliah, bekerja, dan merawat anak-anak.
Sejak lahir hingga balita, anak keduaku mengalami beragam alergi yang
melelahkan. Membutuhkan kesabaran dan
kekuatan hati untuk mendampinginya melewati masa-masa sulit itu.
Kini kedua anakku sudah berusia 12 tahun
dan 9 tahun. Keduanya tumbuh sehat,
membuatku selalu menitikkan air mata haru setiap mengenang masa kehamilan dan
balita mereka. Setiap melihat
perkembangan mereka, aku dan suami teringat bahwa mereka bukanlah milik
kami. Mereka dititipkan Sang Pemilik
Hidup untuk kami rawat dan asuh baik-baik.
Merekalah yang kelak akan menjadi pembuka pintu surga jika kami
mengasuhnya dengan baik semasa hidup.
Tantangan mengasuh keduanya kini sudah
jauh berbeda dengan masa saat mereka balita.
Keduanya mulai beranjak buhang dan gadis. Sebagai orang tua, aku dan suamiku makin
sadar bahwa mereka kelak akan menjadi diri mereka sendiri, bagaikan busur panah
yang melesat. Mereka memang anak kami, tetapi mereka bukan milik kami.
Itulah yang selalu menginspirasi kami
untuk berusaha ikhlas tentang apapun kelak yang akan menjadi taqdir anak-anak
pemilik masa depan. Persis seperti makna puisi yang ditulis Khalil Gibran,
Anakmu Bukan Milikmu.
Anakmu bukanlah
milikmu
Mereka adalah putra
putri sang Hidup,
Yang rindu akan
dirinya sendiri
Mereka lahir lewat
engkau
Tetapi bukan dari
engkau
Mereka ada padamu,
tetapi bukanlah milikmu
Berikan mereka
kasih sayangmu,
Namun jangan
sodorkan pemikiranmu
Sebab pada mereka
ada alam pikirannya sendiri
Patut kau berikan
rumah bagi raganya,
Namun tidak bagi
jiwanya,
Sebab jiwa mereka
adalah penghuni rumah masa depan
Yang tiada dapat
kau kunjungi
Sekalipun dalam
mimpimu
Engkau boleh
berusaha menyerupai mereka,
Namun jangan
membuat mereka menyerupaimu,
Sebab kehidupan
tidak pernah berjalan mundur
Ataupun tenggelam
ke masa lampau
Engkaulah busur
asal anakmu
Anak panah hidup,
melesat pergi
Sang Pemanah
membidik sasaran keabadian
Dia merentangkanmu
dengan kuasaNya
Hingga anak panah
itu melesat jauh dan cepat
Bersukacitalah
dalam rentangan tangan Sang Pemanah
sebab Dia mengasihi
anak-anak panah yang melesat laksana kilat
sebagaimana
dikasihiNya pula busur yang mantap
--------------------
Tidak ada komentar
Terima kasih telah berkunjung dan membaca artikel ini. Silakan tinggalkan jejak di komentar dengan bahasa yang sopan. Mohon tidak meninggalkan link hidup. Terima kasih.