Self Love dan Generasi Anti Home Service


 Apa hubungannya self love dengan generasi anti home service

Anda mungkin bertanya-tanya.  

Self love membuat saya berani berjuang untuk mewujudkan generasi anti home service 

Saya akan menceritakannya untuk Anda. 


----------------


Self love.  Mencintai diri sendiri. Frase ini baru benar-benar melekat dalam kehidupan saya setahun terakhir.  Persisnya setelah perhatian pada kesehatan mental perempuan mulai tumbuh. Kesadaran untuk menjaga mental tetap waras membawa saya pada pencarian tentang self love, self care, self acceptance, dan semacamnya.  Berbagai kelas terkait topik ini saya ikuti untuk mendalami langsung dari ahlinya.  

Sebagai ibu, istri, dan pekerja saya perlu menjaga kewarasan.  Berbagai prioritas dari ketiga peran itu sering berbenturan.  Kadang, kondisi membuat saya lebih banyak memberi dan berkorban untuk orang lain.   Tanpa disadari, ada sebagian kebutuhan diri yang tidak terpenuhi. Ibarat bejana, saya terlalu banyak menuang tanpa mengisinya kembali.  Jadi kering.  Memberi dan terus memberi.  Sehingga saat menerima pun saya jadi merasa bersalah dan tak pantas, kendati itu adalah hak sewajarnya.

Contohnya, ketika saya duduk duduk bersantai malam hari menikmati kue kesukaan, sementara anak-anak kesulitan mengerjakan tugas sekolah.  Sejujurnya, boleh saja kan saya meneruskan bersantai, dan membiarkan anak-anak mengatasi kesulitannya sendiri.  Toh sedari pagi juga sudah mengurus mereka, lalu pergi bekerja seharian.  Tidak ada salahnya bukan?  Duduk bersantai malam hari menikmati kue kesukaan adalah bagian dari self  love.  Bukan sebuah egoisme ibu. 

Tapi saya diliputi rasa bersalah saat bersantai.  Macam jadi ibu yang tidak baik kalau membiarkan anak-anak mengatasi kesulitan tugas sekolahnya sendiri, sementara saya duduk santai menikmati kue kesukaan.  Sering terjadi begini, maka saya jadi kekurangan waktu bersantai.  Seolah-olah bersantai adalah sebuah kesalahan buat seorang ibu.  

Sehari-hari, saya melayani keperluan anak-anak, mengurus rumah tangga di rumah, dan bekerja di kantor.  Saat di kantor saya melayani kepentingan perusahaan dan publik, bahkan sering dalam kondisi tak bisa menolak permintaan atasan untuk semua pekerjaan.  Mengatakan tidak, walau saat lelah, rasanya tidak pantas.  Terus demikian sehingga lama-kelamaan kelelahan memuncak.  Terakumulasi jadi tak terkendali.  Akibatnya, saya mudah naik darah.  

Saya pernah dalam keadaaan untuk membaca santai sambil minum secangkir teh hangat pun tak dapat.  Waktu demi waktu tersita untuk melayani kepentingan orang banyak.  Keluarga, publik, tetangga, dan entah siapa lagi.  Tidak tersisa waktu untuk diri sendiri. Tanpa disadari saya mengabaikan kebutuhan diri untuk mendapatkan hak yang cukup.  Istirahat yang cukup, hak memanjakan tubuh, dan hak menikmati perawatan tubuh jadi terabaikan. 

Perlahan tapi terus terjadi, saya mengabaikan sebuah kebutuhan untuk mencintai diri sendiri.  Yaitu, memenuhi kebutuhan diri akan istirahat dan perawatan diri yang cukup. Apalagi saya tipe ibu yang tidak bisa lihat rumah berantakan. Daripada meluangkan waktu untuk istirahat, saya malah sibuk beres-beres tiada akhir.  Misuh-misuh apabila anak-anak diminta berbenah tapi hasilnya tidak sesuai standar kerapihan saya.  Jadi makin lelah sendiri.   

Daripada pergi ke salon memanjakan diri, saya malah sibuk memastikan semua kebutuhan anak-anak terpenuhi dan terurus sempurna. Padahal ya ngga harus sampai segitunya.  Perlahan-lahan saya jadi seperti kurang melatih anak-anak yang sudah mulai besar untuk mengurus keperluan mereka sendiri. Anak-anak jadi terbiasa dilayani asisten rumah tangga dan ibunya.  

Belakangan saya menyadari bahwa apabila mencintai diri sendiri, seharusnyalah kita memenuhi kebutuhan diri dan merawat diri luar dalam baik-baik.  Mengabaikan kebutuhan istirahat dan perawatan diri walau demi mengurus keperluan anak, itu juga bisa dikatakan kita tidak cinta sama diri sendiri.  Sempat merasa sedih karena begini. 


Lalu apa hubungannya dengan generasi anti home service? 


  Kekuatiran tentang Generasi Home Service adalah momok terbesar yang saya hadapi sepanjang menjadi ibu dua belas tahun terakhir ini.  Sebagai ibu bekerja ranah publik, yang harus berangkat ke kantor pagi hari dan pulang ke rumah sore hari, wajar bila kekuatiran itu selalu hadir.  Selama tak di rumah, anak-anak diurus oleh asisten rumah tangga.  Jadi ada semacam ketergantungan anak-anak untuk selalu dilayani oleh orang lain.  Ya, sebetulnya wajar sih ketika mereka masih usia balita.  Masuk usia sekolah, seharusnya sudah mulai dibiasakan mengurus diri sendiri. 

Lama-lama saya dan suami pun jadi takut.  Takut anak-anak menjadi terus terbiasa dilayani.  Takut mereka kelak jadi generasi home service, generasi yang selalu minta dilayani sampai dewasa. Ini sering terjadi pada anak-anak yang hidupnya selalu dilayani oleh orangtuanya atau orang yang membantunya. Akibatnya, setelah dewasa mereka tidak bisa mengurus dirinya sendiri.  Jangankan membantu orang lain, mengurus diri sendiripun mungkin kesulitan.  


Pernah saya berusaha untuk melatih anak-anak agar mengerjakan pekerjaan rumah tangga dan mengurus keperluan mereka sendiri tanpa dibantu bibi.  Tapi, ketika saya tak di rumah, siapa yang menjamin semua berjalan sesuai rencana?  Bibi tidak mau repot-repot membujuk kakak atau adik untuk mengambil makan dan minum sendiri serta mencuci perabot bekas pakainya.  Bibi sudah otomatis mengurus semuanya. Bibi merasa tugasnya adalah melayani, digaji untuk melayani.

Kesimpulannya, selama ada bibi di rumah, maka agak sulit membiasakan anak-anak mengurus diri mereka sendiri.  Saya dan suami bersepakat untuk tidak menggunakan jasa asisten rumah tangga lagi ketika si sulung dianggap cukup matang.  Setahun lalu, katika usia sulung kami 11 tahun dan si bungsu 8 tahun, kami memutuskan untuk tidak lagi menggunakan asisten rumah tangga.  

Kemudian,  apa yang terjadi setelah tidak ada asisten rumah tangga?


Bisa ditebak, saya justru makin kewalahan awalnya.  Ya meski hanya di awalnya.  Karena saya tidak betah melihat lantai yang disapu dan dipel si sulung ternyata masih lengket.  Piring yang dicuci si bungsu masih menyisakan sabun di sudut perabot.  Saya mencucinya ulang.  Lantai saya sapu dan pel ulang.  Aduh, lelahnya.  Tak ada waktu untuk bersantai memanjakan diri.  Di mana self love? Di mana?

Padahal, suami saya termasuk orang yang sangat ringan tangan dalam membantu pekerjaan rumah tangga sejak dulu.  Tapi ya namanya kami berdua bekerja, jadi urusan domestik terkalahkan dulu. Suami sering mengajak saya keluar sekedar cari angin segar supaya melupakan sejenak rumah yang abrakadabra porak poranda seperti kapal pecah.  Tapi, saya sering menolak.  Saya memilih berkutat berberes sambil marah-marah.  Duh, anak-anak pun jadi merasa serba salah. 

Melihat saya semakin kelelahan dan sering marah-marah, suami berusaha meredam dengan diam.  Maksudnya, memberikan saya waktu untuk menguasai emosi sendiri.  Disuruhnya saya lekas tidur ketika dilihatnya saya begitu lelah tapi dapur masih berantakan.  Esok paginya saya terbangun, sudah dirapikan oleh suami. Pernah, saya tidak mencuci piring selama sebulan.  Selama itu suami lah yang handle, dan ia membiasakan putri bungsu kami mencuci piring.  Walau hasilnya belum memuaskan di awal.  Tapi suami lah yang terus membiasakannya. 

Atas arahan suami, saya pernah selama sebulan berusaha tidak mengambil alih tugas anak laki-laki sulung untuk menyapu dan mengepel lantai ruangan bawah.  Walau sudut-sudut rumah terlihat masih berdebu, biarlah.  Kadang pel pun tak dicuci sebagaimana standar kebersihan. Ya sudahlah, namanya juga bocah. 

Saya juga pernah selama sebulan bertahan dengan hasil cucian piring putri bungsu.  Masih lengket dan kadang tersisa bekas sabun di perabot. Saya dilatih untuk tidak mengambil alih dan tidak mengerjakan ulang yang kurang bersih. Saya pun dilatih menerima, dan menggunakan waktu untuk diri saya sendiri.

Dibantu suami, saya berhasil menahan diri untuk tidak ngedumel. Lebih memilih duduk minum teh hangat di pojok dapur.  Suami selalu datang menepuk-nepuk pundak saya sambil berkata,” Ngga apa-apa.  Lebih baik begini sekarang, asal nanti mereka besar terbiasa untuk tidak selalu dilayani.”  Kata-katanya bermakna, biarlah biasakan anak-anak melakukan pekerjaan rumah tangga sekarang walau hasilnya tak sempurna.  Terima saja.  Take your time for self love.  Seolah-olah begitu. 

Ya, alih-alih ngedumel karena hasil pekerjaan anak-anak masih jauh dari sempurna, saya memilih menggunakan waktu yang ada untuk mencintai diri saya sendiri.  Karena sebagian pekerjaan rumah tangga sudah dikerjakan anak-anak secara teratur, saya jadi bisa meluangkan waktu untuk duduk santai sambil membaca buku atau merancang ide-ide tulisan baru.  Saya luangkan waktu untuk mandi dengan produk perawatan baru dan merawat tubuh sambil mendengarkan musik favorit.  Dampaknya sungguh beda.  Pikiran jadi lebih segar.  Tubuh jadi lebih rileks.

Karena pikiran segar dan tubuh terasa rileks, maka saya jadi lebih bisa menerima jika sulung kurang bersih ngepelnya atau bungsu kurang bersih cuci piringnya.  Ngga masalah sebetulnya.  Toh, mereka sudah biasa dan sadar untuk melakukannya tanpa disuruh saja sudah menjadi suatu hal yang wajib disyukuri.  Kelak, saat mereka merantau jauh dari orang tua, sudah terbiasa melakukannya.  Ada keyakinan bahwa kelak mereka bukan salah satu dari generasi home service.


Selebihnya, saya pun bersyukur 


Saya bersyukur karena ada suami yang membantu saya untuk bisa mencintai diri sendiri. Mencintai diri sendiri artinya kita penuhi semua kebutuhan diri pada porsinya.  Kebutuhan untuk makan yang sehat, olahraga, tidur dan istirahat yang cukup, bersantai, beraktualisasi, dicintai dan dihargai. 

Karena mencintai diri sendiri, saya tidak akan membiarkan diri menjadi pelayan bagi anak-anak atau siapapun.  Artinya, semua kebutuhan dan keperluan anak-anak memang tanggung jawab orang  tua.  Namun, membiasakan mereka untuk mengurus diri sendiri dan membantu pekerjaan rumah tangga adalah juga tugas orang tua.  Kelak, untuk bekal mandiri mereka juga.  Sebab, saya dan suami tak kan selamanya bersama anak-anak.  

Ada waktunya mereka nanti akan hidup terpisah.  Bukanlah suatu keegoisan jika saya meluangkan waktu untuk bersantai, sementara anak-anak dibiasakan membantu pekerjaan rumah tangga. Semua untuk kebaikan bersama. Saya percaya akan tetap menjadi ibu yang dicintai anak-anak sampai kapanpun. 

Pada perjalanannya, self love telah membantu mendorong saya untuk berjuang mewujudkan generasi anti home service.  Waktu yang sebelumnya habis untuk urusan mengerjakan pekerjaan rumah tangga, diambil sebagian untuk kegiatan mencintai diri sendiri. Sekedar bersantai setelah lelah bekerja di kantor.  Sekedar duduk menikmati secangkir teh hangat ditemani alunan musik favorit.  Bersamaan dengan itu, anak-anak dibiasakan mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Juga, dibiasakan mengurus keperluan mereka sendiri dalam pengawasan orang tua.

Sebagai bentuk syukur, tak perlu cemas dengan hasil kerja anak-anak yang belum sesuai dengan standar orang dewasa.  Sebab, semuanya berproses.  Yang utama adalah kesadaran dan kebiasaan yang dipupuk sejak dini. Kelak, ketika telah dewasa, mereka akan paham mengapa orang tuanya membiasakan pekerjaan rumah tangga sejak kecil.  Anda setuju? (Opi) 




Tidak ada komentar

Terima kasih telah berkunjung dan membaca artikel ini. Silakan tinggalkan jejak di komentar dengan bahasa yang sopan. Mohon tidak meninggalkan link hidup. Terima kasih.