Beras Fortifikasi untuk Mengatasi Kelaparan Tersembunyi


Halim Perdanakusuma, tiga puluh tahun silam.   

Hampir setiap hari sepulang sekolah aku merasa lemas dan pusing. Beberapa kali bahkan nyaris pingsan saking lemasnya. Saat itu usiaku 14 tahun, kelas 2 SMP.  Pulang sekolah aku terbiasa berjalan kaki menyusuri pinggiran Kompleks Angkatan Udara di Kawasan Lanud Halim Perdanakusuma, Jakarta Timur, kemudian melintasi persawahan di perbatasan Pangkalan Udara dengan kelurahan tempat keluargaku bermukim. 

Lelah dan berkunang-kunang sudah menjadi karib di masa itu.  Sering, aku bersandar di pohon beberapa menit.  Berteduh.  Biasanya pusingnya baru hilang setelah beristirahat di rumah dan banyak-banyak makan sayur masakan ibu.
 

Setelah lulus SMP dan masuk SMA, penyakit sering pusing dan lelah ini makin meraja. Dalam pemeriksaan kadar Hemoglobin (Hb) di sekolah, aku terdeteksi dengan nilai Hb 9 g/dl.  Normalnya, remaja putri yang sehat nilai Hb-nya sekitar 12 g/dl. 

“Duh, kamu kekurangan zat besi nih, makanya Hb nya rendah,” celetuk guru Biologi.

“Pantesan sering hampir pingsan kalau pulang sekolah,” timpal salah satu teman. 

Dari pelajaran Biologi aku ketahui adanya penyakit anemia defisiensi besi atau anemia gizi besi (AGB).  Defisiensi besi merupakan yang paling umum terjadi dari semua kasus anemia, bahkan 50% kasus anemia adalah AGB. Sisanya adalah anemia kehamilan, anemia karena perdarahan, anemia aplastik, anemia hemolitik, anemia karena penyakit kronis, dan anemia sel sabit.  

AGB terjadi ketika kadar zat besi di dalam tubuh berada di bawah batas normal sehingga menurunkan kemampuan tubuh untuk membentuk Hemoglobin dan sel darah merah yang sehat.  Hemoglobin adalah protein yang bertugas membawa Oksigen ke seluruh tubuh. 


Sejak terdeteksi AGB, aku jadi rajin makan sayur, buah, telur, dan susu.  Bapak membelikanku kapsul suplemen zat besi yang harus kuminum sehabis sarapan.  

Hidden Hunger yang Mengintai di Sepanjang Era

Pengalamanku menderita AGB di era tahun 1990an ternyata juga masih banyak dialami para remaja putri di era kini.  Prevalensi (angka kejadian) anemia pada kelompok remaja di Indonesia belasan tahun terakhir justru terus meningkat dari tahun ke tahun, sebagaimana ditunjukkan pada grafik di bawah ini.  

Sumber: diolah dari Riset Kesehatan Dasar, Kemenkes RI tahun 2007, 2013 dan 2018

Bukan hanya di Indonesia, anemia (termasuk AGB) telah menjadi perhatian di seluruh dunia.  Menurut World Health Organization (WHO), angka kejadian anemia di dunia beberapa tahun belakangan ini hampir merata di berbagai benua.  Prevalensi anemia remaja putri di negara berkembang berkisar 27%, sedangkan di negara maju 6%.  Di Asia Tenggara, sekitar 25-40% remaja putrinya menderita anemia.  

Merujuk WHO, angka prevalensi anemia tergolong normal bila lebih kecil dari 5%, ringan di angka 5-19,9%, sedang di angka 20-39,9%, dan tinggi di angka 40% ke atas.  Total keseluruhan penduduk dunia yang menderita anemia diperkirakan mencapai 1,62 miliar jiwa.  Menakjubkan.  


Pengalamanku menderita anemia saat kanak-kanak hingga remaja membuatku waspada memperhatikan kebutuhan gizi mikro untuk tubuh.  Terutama saat beranjak dewasa, menikah, hamil dan menyusui. Di usia matang, gejala anemia serupa pucat, pusing, dan cepat lelah tak pernah lagi kurasakan.  

Faktanya, penyebab tingginya angka kejadian anemia di kalangan remaja putri diantaranya adalah rendahnya asupan zat besi dan zat gizi mikro lainnya seperti vitamin A, C, Folat, Riboflavin (vitamin B2) dan B12.  Kesalahan dalam mengkonsumsi zat besi bersamaan dengan zat lain yang mengganggu penyerapan zat besi juga menjadi penyebab kekurangan zat besi dalam darah.  

 
Bayam, sumber zat besi 


Beberapa jenis makanan yang dapat meningkatkan penyerapan zat besi misalnya buah-buahan yang mengandung banyak vitamin C, daging, dan ikan.  Sementara itu minuman teh dan kopi sebaiknya dihindari dikonsumsi bersamaan dengan zat besi karena bisa menghambat penyerapannya.  Zat tanin dan polifenol yang terdapat pada teh dan kopi diketahui dapat menghambat penyerapan zat besi.  

AGB hanya salah satu contoh masalah gizi yang ada.  Di Indonesia, permasalahan gizi terbagi atas kekurangan dan kelebihan gizi.  Kekurangan gizi (malnutrisi) diantaranya adalah defisiensi gizi mikro dan makro. Defisiensi gizi mikro misalnya kekurangan vitamin dan mineral.  Sedangkan kekurangan gizi makro misalnya kekurangan karbohidrat dan protein. Kelebihan gizi seperti kelebihan karbohidrat dan lemak erat hubungannya dengan overweight hingga obesitas. 

Defisiensi mikronutrien seperti kekurangan zat besi, vitamin dan mineral lainnya pada kenyataannya juga menjadi momok mendunia. Inilah yang disebut dengan kelaparan tersembunyi (hidden hunger). 

Kelaparan tersembunyi (hidden hunger) menurut FAO adalah kekurangan zat gizi mikro (mikronutrien), yang terjadi ketika kualitas makanan yang dimakan seseorang tidak bisa memenuhi kebutuhan nutrisinya, sehingga tidak mendapatkan vitamin dan mineral esensial yang dibutuhkan untuk pertumbuhan dan perkembangannya.  

Cukup mencengangkan, hidden hunger diderita oleh sekitar 2 miliar penduduk dunia. Level penyebarannya dapat dilihat pada gambar berikut.  Indonesia terdeteksi berada pada situasi kelaparan tersembunyi level moderat. 
 


Sebaran hidden hunger di dunia 
Sumber: DSM Indonesia 

Indonesia berada pada posisi ke 70 dari 107 negara berdasarkan Indeks Hidden Hunger tahun 2020.  Angka tersebut menunjukkan kondisi gizi yang belum baik.  

Kekurangan vitamin (misalnya vitamin A, B1/Tiamin, B3/Niasin, B6, B9/Asam Folat, dan B12) serta mineral (misalnya Zat besi, Iodium, dan Zinc) menyebabkan berbagai gangguan pada perkembangan manusia.  Meskipun sifatnya mikronutrien (nutrisi yang dibutuhkan dalam jumlah sedikit saja), namun yang sedikit itu amat fatal akibatnya bila tidak terpenuhi. Sebab vitamin dan mineral penting untuk pertumbuhan dan metabolism sel tubuh. 

Contohnya bila remaja putri kekurangan zat besi, menjadi pucat, cepat lelah dan pusing, sulit berkonsentrasi pada pelajaran, dan dapat memengaruhi prestasi belajarnya. Kekurangan mikronutrien lainnya bisa mengakibatkan gangguan pertumbuhan dan perkembangan yang menurunkan kualitas generasi. 

Penurunan kualitas generasi inilah yang kemudian berdampak pada penurunan GDP (Gross Domestic Product) sebuah negara. GDP adalah nilai pasar semua barang dan jasa yang diproduksi oleh suatu negara pada periode tertentu, dan merupakan salah satu metode untuk menghitung pendapatan nasional.
 

Sumber: DSM Nutrition Improvement

Fortifikasi Bahan Pangan, Memperkaya Pangan Pokok

Berpuluh tahun fortifikasi telah dipilih sebagai kebijakan pemerintah di berbagai negara di dunia untuk mengatasi kelaparan tersembunyi, termasuk di Indonesia.  Margarin yang diperkaya dengan vitamin A, garam yang ditambahkan Iodium, serta tepung ataupun susu bubuk yang ditambah berbagai macam vitamin adalah contohnya. 

Fortifikasi adalah penambahan zat gizi makro maupun mikro pada pangan yang secara normal sudah ataupun belum mengandung nutrisi dimaksud. Zat gizi yang ditambahkan bisa satu macam (single fortification), dua macam (double fortification), dan banyak macam (multiple fortification).

Pangan yang ditambahkan zat gizi disebut sebagai vehicle, sedangkan zat gizi yang ditambahkan disebut fortifikan. Fortifikan dicampurkan ke dalam bahan pangan dengan perbandingan yang mengacu pada ketentuan WHO. 

Cara pencampuran fortifikan bermacam-macam.  Untuk tepung atau bahan pangan berbentuk bubuk, fortifikan dicampurkan dengan teknik dry mixing (pencampuran kering).  Fortifikan berbentuk bubuk langsung dicampurkan dengan tepung yang akan diperkaya. 

Untuk biji-bijian terutama beras, dikenal teknik dusting yaitu melapisi beras dengan serbuk fortifikan.  Teknik ini banyak digunakan di Amerika Serikat, yang budayanya tak mencuci beras ketika akan dimasak.  Teknik ini tidak cocok diterapkan di negara berkembang seperti Indonesia karena kebiasaan masyarakat Indonesia mencuci beras berkali-kali.  Pencucian beras akan melarutkan lapisan serbuk fortifikan.  

Teknik lainnya yang lazim diterapkan pada biji-bijian adalah fortifikan terlebih dulu dibentuk menjadi kernel, sebelum dicampur dengan pangan biji-bijiannya.  Kernel fortifikan adalah butiran yang menyerupai pangan bijian yang berisi premiks vitamin/mineral dan tepung bijian. Ini disebut dengan teknik hot extrusion (bila kernel dibentuk dengan suhu panas) dan cold extrusion (bila kernel fortifikan dibentuk pada suhu dingin).  Kernel fortifikan yang dibentuk melalui teknik hot extrusion cenderung lebih mirip dengan pangan biji-bijian aslinya, daripada yang dibentuk dengan teknik cold extrusion.  

 

Kernel fortifikan hasil hot extrusion

Ini adalah contoh kernel fortifikan berisi premiks vitamin dan mineral yang dibentuk pada suhu panas (hot extrusion).  Bentuknya mirip sekali kan dengan butiran beras? Hanya warnanya saja yang lebih gelap dibandingkan butiran beras.  Semasa bertugas di Kabupaten Karawang, saya kerap mendampingi rekan-rekan kerja di Unit Pengolahan Beras (UPB) Rengasdengklok untuk melakukan pencampuran kernel dengan beras premium lokal menghasilkan beras fortifikasi. Kernel fortifikan ini dicampurkan ke dalam beras premium menggunakan mixer dengan perbandingan tertentu untuk menghasilkan beras fortifikasi.  


Mixer untuk mencampur beras dengan fortifikan

Kernel fortifikan yang berisi premix vitamin dan mineral diimpor dari produsennya. Akan sangat baik bila Indonesia bisa memproduksi sendiri fortifikan lokal sehingga menurunkan biaya produksi beras fortifikasi.  Memproduksi fortifikan lokal merupakan PR tersendiri karena memerlukan kemauan, pengetahuan dan penguasaan teknologinya.  

Sebetulnya, dengan beragamnya kekayaan pangan Nusantara, bukan hanya beras yang bisa difortifikasi.  Ke depan, berbagai jenis pangan lokal seperti singkong, jagung, tepung beras, dan lainnya sangat berpotensi untuk difortifikasi dengan mikronutrien fortifikan lokal agar memberi manfaat bagi masyarakat.  Terutama, golongan masyarakat yang mengalami defisiensi nutrisi tertentu. 
 
Sumber: Outlook Indonesia Food and Fertilizer Research Institute (IFFRI) Triwulan II 2021

Mengatasi Kelaparan Tersembunyi 

Ada empat cara untuk mengatasi kelaparan tersembunyi yang dapat dilakukan secara paralel.  Keempat cara itu adalah Suplementasi, Fortifikasi, Biofortifikasi, dan Diversifikasi Pangan untuk Diet. 

Suplementasi adalah memberikan tambahan makanan berupa suplemen untuk memenuhi kebutuhan mikronutrien.  Misalnya pemberian suplemen zat besi, vitamin B kompleks, atau suplemen Asam Folat. Suplemen dikonsumsi secara terpisah dari pangan pokok yang menjadi makanan sehari-hari. 

Fortifikasi, sebagaimana telah dijelaskan di awal merupakan upaya memperkaya bahan pangan dengan mencampurkan zat gizi mikro yang dibutuhkan ke bahan pangan tersebut.  Berbeda dengan suplementasi, pada fortifikasi pangan dan zat gizi mikro dikonsumsi bersamaan.  

Berbagai studi di banyak negara membuktikan bahwa fortifikasi lebih efektif untuk tujuan memperbaiki gizi mikro jangka panjang dibandingkan metode lainnya yaitu hanya pemberian suplemen (suplementasi) atau hanya diet seimbang.


Fortifikasi efektif memperbaiki gizi mikro suatu komunitas target dalam juangka panjang 

Biofortifikasi memiliki prinsip yang sama dengan fortifikasi yaitu memperkaya nutrisi bahan pangan.  Namun, pengayaan nutrisi mikro pada biofortifikasi dilakukan dalam tanaman pangan selama masa pertumbuhan tanaman hingga dipanen, melalui proses pemuliaan tanaman baik secara konvensional maupun transgenik, serta pemupukan khusus.  

Biofortifikasi membuka peluang jalan pengayaan nutrisi yang lebih terjangkau dari segi biaya, dan mampu menjangkau sasaran yang lebih luas.  Bila satu jenis varietas tanaman pangan sudah terbukti efektif, tidak terlampau sulit untuk menyebarkannya untuk ditanam di berbagai wilayah. 
 

Perbedaan Biofortifikasi dengan Fortifikasi

Upaya yang tak kalah penting untuk mengatasi kelaparan tersembunyi adalah diversifikasi pangan untuk diet.  Penganekaragaman jenis pangan yang dikonsumsi akan memberikan sumber nutrisi yang beragam bagi tubuh. Diversifikasi pangan sangat tergantung pada budaya makan masyarakat.  

Mengapa Beras Fortifikasi ?

Beras menjadi pilihan pangan pokok yang paling cocok untuk difortifikasi di Indonesia mengingat sebagain besar masyarakat Indonesia mengkonsumsi beras sepanjang tahun.  
 
Sumber: Ibn 360

Beras yang telah difortifikasi dapat disalurkan ke masyarakat melalu tiga macam penyaluran.  Yang pertama, mandatory/wajib.  Yang kedua melalui Program Sosial.  Dan yang ketiga melalui jalur komersial bisnis (fortifikasi sukarela/voluntary).  Untuk jalur wajib, beras fortifikasi disalurkan  berdasarkan kebijakan pemerintah yang mewajibkan seluruh beras yang dikonsumsi untuk difortifikasi dengan vitamin dan mineral. Hal ini seperti kewajiban menambahkan Iodium pada garam.  Namun, saat ini fortifikasi mandatory untuk beras masih terbatas misalnya pada beras Raskin beberapa tahun yang lalu.  
 

Sumber: DSM Indonesia 

Jalur program sosial bisa digunakan untuk menyalurkan beras fortifikasi, misalnya untuk kalangan target tertentu (usia baduta, ibu hamil dan menyusui- sebagai intervensi gizi spesifik pencegahan stunting).  

Sedangkan jalur komersial (fortifikasi sukarela) sangat sesuai untuk semua kalangan yang semakin menyadari pentingnya mencukupi asupan gizi.  Pada jalur ini, kita dapat menemui sejumlah produk beras fortifikasi di pasaran yang dapat dipilih.  
 


Sumber: DSM Indonesia

Ragam Beras Fortifikasi di Pasaran Indonesia

Pada Juni 2021, perusahaan teknologi agribisnis PT Moelti Pertanian Indonesia (M-Tani) meluncurkan produk beras berfortifikasi Sego Wangi Plus.  Produk ini merupakan beras yang diperkaya vitamin A, B1, B6, B12, asam folat, zat besi, dan Zinc.  M-Tani bekerjasama dengan DSM Indonesia dalam mengembangkan produk ini.  
 

DSM Indonesia adalah perusahaan nutrisi multinasional asal Belanda, produsen kernel fortifikan berisi premix vitamin (zat gizi mikro), yang dicampurkan ke dalam beras premium untuk menghasilkan beras fortifikasi.  Sego Wangi Plus diproduksi dengan dua ukuran yaitu 2,5 kg dan 5 kg serta dipasarkan di pasar online maupun offline.  

Beras Fortivit yang diproduksi Perum BULOG lebih dulu daripada Sego Wangi Plus juga menggunakan kernel yang diimpor dari DSM.  Perbedaannya, kandungan zat gizi mikro beras Fortivit lebih lengkap karena mengandung juga vitamin B3.  Selain itu, beras Fortivit dikemas vakum untuk ukuran 1 kg dan 5 kg.  Sedangkan Sego Wangi Plus dikemas biasa (tanpa vakum) ukuran 2,5 kg dan 5 kg.  
 


Dari segi harga, beras Fortivit di Jabobetabek berada di kisaran Rp 15.000/kg.  Sedangkan Sego Wangi Plus di kisaran Rp 20.000/kg.  Harga beras fortifikasi ini memang relatif lebih tinggi dibandingkan dengan beras yang tidak diperkaya.  Selain harga yang harus dibayar untuk fortifikannya, juga pada dasarnya berasnya adalah beras premium. 

Beras fortifikasi termasuk kategori beras khusus untuk kesehatan berdasarkan Peraturan Menteri Pertanian No, 48 Tahun 2017 tentang Beras Khusus.  Untuk kategori ini, Permentan mengatur beras yang digunakan adalah ketegori beras premium.  Beras premium menurut Permentan No. 31 Tahun 2017 tentang Kelas Mutu Beras yaitu beras dengan total butiran patah maksimum 15%.  Sedangkan beras medium total butiran patahnya maksimal 25%.  Harga beras premium umumnya rata-rata di atas harga beras medium. 
 

Selain Sego Wangi Plus yang head to head dengan Beras Fortivit, di pasaran (online dan offline) beredar sejumlah produk beras analog bekatul yang digunakan untuk fortifikasi beras merah maupun beras putih premium dalam berbagai merek dengan harga yang relatif lebih tinggi daripada Fortivit dan Sego Wangi Plus.  Dalam hal ini, konsep fortifikasinya lebih natural karena tidak menggunakan kernel berisi premix vitamin, melainkan menggunakan sumber vitamin alami yaitu bekatul.  Selain itu, beredar pula beras berfortifikasi dalam kemasan bulk (50 kg) sehingga harga per kg nya menjadi lebih murah sekitar Rp 9.800/kg.  
 

Tantangan dan Inovasi Beras Fortifikasi Kini dan Nanti 

Kendati beras fortifikasi tidak diragukan lagi diupayakan untuk mengatasi kelaparan tersembunyi, berbagai tantangan terbentang di hadapan.  Mulai dari masalah budaya makan, komunikasi publik masalah gizi dan inovasi, rataan pendapatan yang mempengaruhi daya beli, hingga kemampuan produksi beras fortifikasi dalam negeri. Tantangan penyaluran melalui mandatory, program sosial maupun voluntary (komersial) juga memerlukan kemauan dan kerjasama pihak yang solid. 

Prinsipnya, ketersediaan pangan bergizi yang terjangkau oleh masyarakat memang merupakan kewajiban pemerintah.  Fortifikasi secara mandatory dan program sosial memberikan jalan untuk itu. Sedangkan fortifikasi jalur komersial tetap dibutuhkan seiring dengan gaya hidup sehat yang semakin disosialisasikan ke seluruh lapisan masyarakat.  Dari dua sisi ini kelak dibutuhkan juga pengawasan apakah fortifikasi komersial memenuhi standar yang ditetapkan dan tidak mengelabui. 

Apa yang kualami tiga puluh tahun silam seharusnya tak lagi dialami generasi di tiga puluh tahun ke depan.  Kelaparan tersembunyi seharusnya tidak lagi kita beri tempat untuk melaten.  Beras fortifikasi dan inovasinya harus terus digali dan dikembangkan agar menjadi solusi yang dapat mantap dipilih untuk mengatasi hidden hunger bersama dengan suplementasi, biofortifikasi, dan diversifikasi pangan lokal.  Yuk bisa yuk…. (Opi) 

Referensi: 

M.G. Venkatesh Mannar & Richard F Hurrell. 2018. Food Fortification in a Globalized World. Academic Press, Elsevier Inv, Oxford: xvii+395 hlm. 

Siti Helmyati dkk. 2018. Fortifikasi Pangan Berbasis Sumber Daya Nusantara: Upaya Mengatasi masalah Defisiensi Zat Gizi Mikro di Indonesia.  Gadjah Mada University Press, Yogyakarta: xi+135 hlm. 

Regina Moench-Pfanner. 2019. The Importance of Fortifying Rice. Ibn360Pte.Ltd.  Materi pada National Rice Fortification Workshop, Jakarta 11 Desember 2019. 

Yannick Foing. 2019. Making Rice More Nutritious: Addressing Micronutrient Deficiencies in Relation to Stunting, Anemia, Contributing to SDGs.  DSM Nutrition Improvement. Materi pada National Rice Fortification Workshop, Jakarta 11 Desember 2019. 

Specialized Food Demand in Indonesia. Outlook Triwulan 2 Indonesia Food and Fertilizer Research Institute (IFFRI) Tahun 2021

DSM Indonesia, 2018. Peran Fortifikasi Beras dalam Meningkatkan Kesehatan Masyarakat

Materi Sosialisasi Beras Fortivit Perum BULOG Kanwil DKI Jakarta dan Banten. 2020. 


Tidak ada komentar

Terima kasih telah berkunjung dan membaca artikel ini. Silakan tinggalkan jejak di komentar dengan bahasa yang sopan. Mohon tidak meninggalkan link hidup. Terima kasih.