Cinta Ibu, Cobek, dan Muntu



Saya ingin bercerita tentang merawat, mencintai, dan memiliki - versi perempuan paling saya kagumi yaitu ibu saya, melalui sepasang cobek dan muntu.  Bacanya pelan-pelan aja yah.... 

Cobek dan muntu yang nampak pada foto berikut ini usianya sudah nyaris dua dekade.


Perangkat mengulek itu hadiah dari ibu saat saya melepas masa lajang.  Seperangkat cobek dan muntu terbuat dari batu, dibeli di Pasar Kutoarjo, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah -- tempat kelahiran ibu saya. 

Ibu membelinya saat beliau pulang kampung. "Ini asli dari batu pegunungan, kualitas terbaik, untuk anak gadisku yang akan jadi istri dan ibu," kata ibu saat menyerahkan cobek dan muntu batu kepada saya, nyaris dua dekade silam.


Bayangkan, ibu bukan cuma beli satu perangkat, tapi tiga!  Anak gadis ibu ada tiga. Ibu menyiapkan satu perangkat untuk masing-masing anak gadisnya. Saya sempat terharu kalau mengingat saat ibu memboyong perangkat mengulek yang berat itu dari kampung ke Jakarta.  

Beliau naik kereta api. Subhanallah.  Dan saat itu ibu bahkan belum tahu siapa jodoh anak-anaknya.

Saat saya menikah di awal tahun 2007, seperangkat cobek dan muntu batu itu resmi diserahkan ibu sebagai hadiah. Ibu berpesan agar merawatnya baik-baik.  "Mencucinya disikat dengan sikat khusus ya, lalu keringkan di dekat kompor agar kering sempurna. Letakkan posisi aman, jangan sampai terjatuh," pesan ibu. 

Waktu itu ibu juga menyertakan sikat khusus untuk mencuci cobek dan muntu.  Tidak boleh dicampur dengan sikat yang lain.  Saya sangat terharu.

Belakangan, setelah pindah rumah mengikuti suami, baru saya paham betapa berharganya pemberian ibu.  Cobek-muntu pemberiannya memang barang yahud.  Saya nyaris tidak menemukan yang serupa itu di pasar biasa.  

Cobek dan muntu yang terbuat dari batu asli memang jarang ditemui di Jakarta.  Saya merawat pemberian ibu baik-baik. 

Pesan serupa untuk merawat cobek-muntu itu tersampaikan kepada asisten rumah tangga dan seisi rumah.  Termasuk juga kepada suami saya yang sangat ringan tangan sering membantu mencuci perabot dapur. Walau pak suami termasuk yang paling sering melanggar.  

Maksud hati, supaya pemberian ibu awet.

Setiap kali mengulek bumbu masakan, saya selalu teringat ibu.  Ingat masakan ibu yang tidak ada bandingan rasanya. Sudah belasan tahun menikah, saya masih belum bisa membuat sayur lodeh yang rasanya senikmat buatan ibu. 

Cinta ibu hadir dalam perangkat cobek dan muntu, setiap hari.  Saat mencucinya dengan sikat khusus, selalu teringat ketelatenan ibu merawat segala sesuatu.  Perabot ibu semuanya awet dalam kondisi baik, walau sering digunakan.

Mungkin saya seperti orang gila, tapi saya sering duduk di dapur sambil memandangi cobek dan muntu hadiah dari ibu. Mengelus permukaan cobek yang makin lama makin halus karena sering dipakai, membuat sosok ibu terus terpatri di benak. 

Muntunya, pernah dibanting-banting dimainkan oleh anak saya yang bungsu ketika masih balita.  Ujungnya lalu gompal. Pecah sedikit. Beruntung, pecahannya bisa dipungut.  Dengan susah payah, berhasil disatukan kembali dengan lem super.

Waktu mendengar muntu pemberiannya pecah ujungnya, ibu langsung mengirim muntu baru sebagai gantinya. Luar biasa, ibu bahkan menyimpan persediaan muntu batu asli untuk anaknya. 

Duh, ini muntu kayak pemain cadangan di sepak bola aja, selalu siap dilempar ke lapangan saat dibutuhkan.  Jadilah saya punya cobek dengan dua muntu. 

Muntu lama dan yang baru menyertai cobeknya hingga kini

Sekarang, yang sering  dipakai adalah muntu yang baru, karena ukurannya sedikit lebih besar.  Lebih nyaman digenggam saat mengulek.  Terutama mengulek sambel tempe kencur kesukaan anak sulung. 

Muntu lama yang sempat dibanting si bungsu dan pecah ujungnya tetap disimpan. Saya jadi lebih cerewet kepada semua orang di rumah agar hati-hati terhadap cobek-muntu itu.  

"Jangan sampai jatuh dan gumpil ya," kata saya pada seisi rumah.

Tanpa disadari, lewat hadiah pemberiannya, ibu telah mengajari anaknya cara merawat, mencintai, dan memiliki. Lewat seperangkat cobek dan muntu. Beliau bukan sekedar memberi hadiah, tetapi menghidupkan cinta dalam perjalanan hidup saya di rumah suami.

Ibu bagi saya adalah pergulatan abadi, inspirasi hidup dan cinta, dan perjalanan panjang pengabdian.  Pada potretnya, terkumpul semua yang disebut keikhlasan pengorbanan.

Iya, ibu adalah pergulatan abadi. Dalam benaknya bertempur antara ingin pergi piknik sejenak tapi ditundanya karena tidak sanggup meninggalkan anak-anak yang selalu rindu masakan dan bahkan bau tubuhnya. 

Dalam benaknya bergulat antara akan membeli sandal baru untuknya atau melupakan sejenak beberapa bulan ke depan.  Uang untuk beli sandal baru, lebih dulu digunakan untuk membeli buku anak-anaknya.

Pergulatan itu abadi.  Bahkan sampai anak-anak menjemput dewasa. Satu persatu anak-anak menikah, termasuk saya, lalu meninggalkan rumah ibu untuk mengikuti suami masing-masing. 

Ibu akan memastikan kesehatan anak-anaknya dan kadang mengabaikan kesehatannya sendiri.

Ibu, menjadi inspirasi hidup dan cinta bagi anaknya.  Ia selalu bangun paling awal dan tidur paling akhir. Selalu terjaga saat anak-anak sedang sakit. Ibu yang paling panjang doanya ketika anak-anak akan ujian akhir semester di sekolah. 

Ibu pula yang paling semangat membuatkan minuman panas untuk menemani belajar di malam hari.

Ibu, bagaikan sebuah perjalanan panjang pengabdian. Saya baru betul-betul memahaminya saat telah menjadi seorang ibu.  

Setelah mengalami keguguran dan melahirkan anak kedua empat belas tahun yang lalu, menyusui, dan merawatnya, barulah saya benar-benar paham bagaimana rasa perjalanan panjang pengabdian itu dimulai.  Lalu berlanjut sepanjang usia anak-anak untuk menemui kemandiriannya.

Pada potret ibu, terkumpul semua yang disebut keikhlasan pengorbanan. Pada cobek dan muntu hadiah dari ibu dua dekade lalu, ada energi cinta yang selalu mengalir dalam langkah mengarungi kehidupan berkeluarga.

Terima kasih Ibu untuk hadiah yang indah. Doa anak ibu selalu memeluk dari jauh. (Opi)



1 komentar

Terima kasih telah berkunjung dan membaca artikel ini. Silakan tinggalkan jejak di komentar dengan bahasa yang sopan. Mohon tidak meninggalkan link hidup. Terima kasih.