Mensyukuri hidup, bisa membuat hidup terasa lebih lapang.
Menghidupkan syukur, bisa membuat nikmat terasa semakin luas.
Bersyukur, membuat kita merasa cukup dengan lebih sedikit dari apa yang kita punya, atau yang dimiliki siapapun.
Rasa syukur itu jauh lebih indah dan sejuk dibandingkan semua keindahan duniawi yang tampak di depan mata. Saya pikir ungkapan itu tidak berlebihan. Saat kita mampu merasakan syukur, pada saat itulah ucapan-ucapan nyinyir di kanan kiri terdengar seperti pelecut semangat yang membuat diri semakin melejit untuk ihktiar.
Bukankah indah dan sejuk, ketika syukur yang terucap dan terasa itu mampu membuat senyum mengembang, sehingga menebarkan aura positif terhadap orang-orang di sekitar kita?
Bagi saya tidak mudah untuk mensyukuri hidup, dan menghidupkan rasa syukur itu dalam diri. Apalagi menularkannya kepada orang-orang terdekat. Namun beberapa peristiwa kecil yang menyentuh membuat saya akhirnya mulai belajar untuk lebih mengikatkan rasa syukur itu dan menghidupkannya dalam setiap aspek kehidupan yang saya jalani.
Semua bermula dari curhatan seorang rekan kerja di kantor yang merasa kewalahan karena suaminya enggan turut andil dalam pekerjaan rumah tangga. Sebagai perempuan pekerja, dengan jabatan yang cukup tinggi, ia hampir menyerah karena hampir tak tersisa waktu dan pikiran untuk dirinya sendiri.
Ujungnya, dia jenuh dan merasa tidak dihargai. Bahkan mulai berkurang perhatiannya kepada pasangan, dan mencari sosok lain untuk pengalihan.
Saya tidak menyalahkan atau membela. Hanya mendengarkan dan berusaha berempati terhadap kondisi yang dihadapinya. Saya tahu dan mengenalnya sebagai sosok pekerja yang bertanggung jawab. Tiba-tiba saja saya lalu tergelitik untuk melihat ke dalam diri saya sendiri.
Saya lalu berusaha mengingat, berapa kali saya harus minta tolong kepada suami untuk membantu pekerjaan rumah tangga?... Nyaris tidak pernah.
Sebelum saya minta tolong, pak suami sudah lebih dulu mengambil sapu dan pel. Bahkan dia sudah mencuci piring sebelum saya selesai sholat subuh. Padahal suami saya termasuk yang jarang di rumah karena bertugas di luar negeri. Tapi saat berada di rumah, ia sangat ringan tangan.
Berapa kali saya harus minta tolong kepada suami untuk mengasuh anak-anak ketika saya berada dalam kondisi multitasking? Sejujurnya hampir tidak pernah. Sebelum saya minta tolong, suami sudah lebih dulu menghandle kedua balita kami (dulu) dengan kesabaran yang luar biasa.
Berapa kali suami menolak ketika saya minta ijin ambil lebih banyak waktu untuk mengikuti kegiatan-kegiatan yang menjadi passion dalam hidup saya, seperti lomba-lomba menulis, menjadi relawan kegiatan sosial, dan rajin menjadi pembawa acara di berbagai kegiatan. Sepertinya hampir tidak pernah.
Bahkan dengan wajah teduhnya, suami saya seperti berkata, “Berkaryalah, aku bangga padamu.”
Pernah suatu waktu saya berhasil masuk final untuk sebuah lomba inovasi, dan diharuskan membuat video pendek yang memaparkan ide inovasi itu.
Dengan semangat, ia menunggu sampai saya pulang kuliah (ketika itu saya sedang menjalani kuliah pascasarjana, juga atas dukungan suami saya), menyiapkan setting di ruang tamu rumah mungil kami, dan mempersiapkan kamera layaknya videografer. Ketika anak-anak sudah tidur, beliau meminta saya tampil senatural mungkin menyampaikan ide inovasi itu.
Saya yang mulanya tidak begitu percaya diri dengan apa yang saya jalani, menjadi semangat dan terpacu. Walau akhirnya tidak menjadi juara satu, bagi kami bukan masalah.
Saya pun ingat bagaimana dukungan yang diberikannya kepada saya hingga dapat melanjutkan pendidikan dengan beasiswa. Dukungan yang diberikan suami saya bukan dalam bentuk kata-kata,”Aku mendukungmu”.
Beliau tidak pernah mengatakan itu. Beliau hanya siap menghandle anak-anak ketika saya harus ujian di hari Sabtu, atau mengalami pergeseran jam kuliah di malam hari sehingga beliau merelakan untuk menjaga anak-anak hingga tertidur walau dengan tubuh lelah sepulang kerja kantor.
Beliau tidak pernah bertanya berapa gaji saya, berapa honor yang saya terima dari menjadi pembawa acara, berapa hadiah-hadiah yang saya terima dari kemenangan lomba.Tidak pernah sekalipun.
Saya pun berusaha mengingat, apakah suami saya pernah marah karena kemeja yang akan dipakainya berangkat bekerja belum disetrika? Atau malah masih di laundry. Tidak pernah sekalipun. Sebelum saya teringat untuk melicinkan kemejanya, suami saya sudah lebih dulu mengerjakannya sendiri.
Yang paling membekas di ingatan, saya belum lupa ketika SK promosi saya terbit tiba-tiba untuk menjalani tugas di Kabupaten, yang membuat saya harus tinggal terpisah dari keluarga. Saat itu suami menguatkan diri saya untuk maju terus.
“Dicoba dulu, soal berhasil atau gagal itu soal nanti. Kalau diberi amanah kepercayaan, coba jalankan dulu. Bismillah, nanti ada jalannya.” Begitu katanya dulu, menguatkan saya untuk pergi melaksanakan tugas.
Saat-saat itu terberat buat saya sebagai ibu waktu itu, karena suami juga bertugas di negara berbeda. Anak-anak ditinggal hanya dengan asisten rumah tangga. Tetapi suami terus menguatkan, nanti ada jalan. Semua itu benar, kemudian ada jalannya saya bisa kembali berkumpul dengan keluarga.
Mengingat semua itu, air bening mulai mengalir di pipi saya. Betapa banyaknya kemudahan yang saya dapatkan dengan menjadi pasangannya, tetapi seberapa rasa syukur yang saya panjatkan dari semua itu?
Kemudian saya mulai mengingat-ngingat, berapa kali saya membuat masakan kesukaan suami saya tanpa diminta? Berapa kali saya berusaha untuk membuang tampang masam di hadapannya ketika tubuh letih dan pikiran penat?
Berapa kali saya tidak menggerutu apabila pesan atau telepon saya terlambat diresponnya? Berapa kali saya ngambek bila hasrat ngobrol dengannya tidak terpenuhi? Rasanya, air bening ini semakin deras mengalir di pipi, menganak sungai dengan bebas.
Apakah syukur itu? Di mana rasa itu, kenapa ia jarang mampir di hati saya?
Pada saat saya menyadari betapa banyaknya hal yang patut saya syukuri, lalu saya bertanya, dengan apa wujud rasa syukur itu?
Sebentuk sujud yang paling panjang durasinya, mungkin tidaklah cukup. Syukur itu diungkapkan dengan perbuatan, bukan sekedar ucapan Alhamdulillahirabbil alamiin.
Mungkin, jika saya mampu menerima segala bentuk dan kondisi suami dengan keihklasan, itulah bentuk syukur yang sepatutnya. Dengan perbuatan, rasa syukur itu akan hidup di dalam keseharian langkah. Mensyukuri hidup yang sedang dijalani, sekaligus menghidupkan syukur itu dalam perjalanan hidup.
Ketika pasangan kita telah menunjukkan sikap yang kooperatif, sesungguhnya itulah wujud kasih sayang Allah SWT yang tidak terkira. Namun seringkali, rasa kurang bersyukur menutup semua pandangan dan rasa.
Rasa kurang bersyukur mungkin muncul dari banyak sebab. Lemahnya iman, lebih berkuasanya nafsu duniawi, atau pengaruh pergaulan dan munculnya keinginan-keinginan dari melihat kehidupan orang lain.
Jika kita merasa bahwa apa yang seharusnya kita dapatkan adalah sesuatu yang wajar kita dapatkan, pelan-pelan rasa kurang bersyukur itu akan tumbuh subur.
Tapi ketika kita menanamkan mindset bahwa apapun yang kita peroleh adalah rahmat dari Tuhan, pemberian dengan sejuta hikmah di dalamnya, yang harus disyukuri, maka rasa syukur akan berusaha kita pelihara.
Kita akan mampu menghidupkan rasa syukur apabila kita mampu menghargai setiap pemberianNya dengan harga yang tak terhingga. Begitu berharga dan tidak akan pernah bisa terbayar manusia sekaya apapun.
Sore ini, saya bisa mengatakan bahwa tiada yang lebih indah dari rasa syukur yang terus dihidupkan di dalam hati sepanjang hidup. Esok, pasti akan semakin indah ketika syukur itu hidup dalam hati saya dan saya tularkan kepada orang-orang tercinta.
Dengan rasa syukur, dan merasa cukup dengan lebih sedikit dari apa yang kita punya, membuat hidup lebih tenang. Rasa syukur membuat nikmat terasa sangat luas. Begitu kan?... (Opi)
Teruntuk suamiku, Erwan Julianto.
Tidak ada komentar
Terima kasih telah berkunjung dan membaca artikel ini. Silakan tinggalkan jejak di komentar dengan bahasa yang sopan. Mohon tidak meninggalkan link hidup. Terima kasih.