Berbagi Terang di Kemiskinan Cahaya


Kemiskinan cahaya dirasakan setiap usai matahari terbenam oleh saudara kita di pelosok desa Nusantara. Anak-anak usia sekolah terhalang untuk lebih banyak membaca di malam hari. Berbagai kegiatan harus terhenti selepas Maghrib karena keterbatasan penerangan.  Sementara Saya yang hidup di kota besar sepanjang umur, dekat dengan poros pemerintahan,  hampir tak pernah merasakannya.  Sejak lahir Saya terbiasa berada di zona yang bukan hanya terang, melainkan serba gemerlap.

Saya hanya bisa sebatas membayangkan kemiskinan cahaya pada saat mati listrik malam hari. Gerah (karena AC otomatis padam), tidak bisa lanjut baca buku kegemaran (karena lampu juga padam), tidak bisa ngeblog (WiFi di rumah juga padam kalau mati listrik).  Judulnya mati gaya deh pokoknya. Cuma sebatas itu saja.  Saat listrik menyala kembali, dunia Saya kembali benderang. Saya hampir tidak mau membayangkan jika itu terjadi setiap malam, seperti yang dirasakan mereka di pelosok negeri. 

Namun, di hari Rabu tanggal 2 Agustus 2017 lalu, mau tidak mau Saya kembali terusik tentang berbagi cahaya.  Pada waktu itu siang hari, tidak mati listrik, dan Saya berada di sebuah ruangan mewah di gedung bagus di pusat kota Jakarta. Tapi, Saya merasakan kemiskinan cahaya seperti yang dirasakan saudara kita di pelosok itu.  

Suasana ruangan yang remang-remang saat peluncuran Kampung Terang Hemat Energi
Djakarta Theater, Rabu (2/8)
Jadi, siang itu Saya hadir di Peluncuran Program Kampung Terang Hemat Energi 2017-2018 di Djakarta Theater.  PHILIPS Lighting Indonesia menggagas program ini sebagai Corporate Social Responsibility (CSR) nya sejak tahun 2015. Kehadiran Saya dan undangan lainnya disambut dengan senyum yang ramah, makanan dan minuman yang lezat, dan tempat yang adem serta nyaman. Kami disuguhi pula di atas meja beberapa karton-karton tebal berisi beragam kuiz lengkap dengan spidol untuk mengerjakan kuiz.  
Mengerjakan kuiz hanya dengan penerangan dua lilin di tengah
meja dan pendar lampu dari panel pameran foto
Tapi ada satu hal yang membuat Saya harus resah, yaitu gelap.  Ya, ruangan tempat kami para undangan berkumpul terbilang gelap.   Tidak ada cahaya selain dari dua batang lilin di tiap meja dan lampu lampu kecil dari panel pameran foto di sudut sudut ruangan.  Bayangkan, mata Saya sampai sakit karena harus berakomodasi penuh ketika membaca dan mengerjakan kuiz permainan di atas meja akibat pencahayaan yang minim. Sayapun akhirnya menyerah dan berjalan-jalan ke luar ruangan untuk mencari objek foto yang menarik.

Bercakap-cakap dalam gelap 
Sampai acara dimulai, ruangan tetap temaram oleh cahaya lilin dan pendar yang berasal dari layar untuk presentasi di panggung bagian depan ruangan. Pokoknya, rasanya engga enak banget deh gelap gelapan. Padahal tengah hari bolong lho... dan di luar terang panas terik! Saat acara sudah berlangsung setengah jalan, dan kami diperkenalkan dengan lampu energi surya yang ternyata terpasang dua buah di setiap meja, barulah Saya paham kenapa PHILIPS ngajak gelap-gelapan begini. 

Pembawa acara mempersilakan para undangan mencoba menyalakan lampu energi surya yang ada di masing-masing meja, dengan menekan tombolnya.  Lampu pun menyala dan seketika ruangan menjadi lebih terang. Lampu tersebut memiliki sambungan saluran dengan simpanan energi surya yang membuatnya menyala.  

Terang seketika setelah dua lampu bulat energi surya dinyalakan
Nah, rupanya PHILIPS sengaja mengajak para undangan semua berada dalam cahaya yang minim siang itu, dan memberikan kami sejumlah permainan kuiz yang mengasyikkan namun sulit dinikmati karena gelap. Tujuannya agar  kami para undangan dapat merasakan bagaimana ngga enaknya berada dalam kondisi miskin cahaya sementara ingin melakukan berbagai aktivitas.  Bagaimana rasanya membaca dan menulis di tengah remang? Sudah tahu sendiri deh ya rasanya. 

Kira-kira ya seperti itu yang dirasakan saudara kita setiap malam di pelosok desa hampir di tiap pulau di Indonesia selama bertahun-tahun.  Malam hari hanya ada cahaya lilin dan lampu minyak tanah. Tidak ada listrik untuk menyalakan lampu apalagi alat elektronik lainnya, karena PLN belum menjangkau mereka. Sampai kapan mereka akan menunggu cahaya datang menerangi waktu setelah senja? Bukan cuma soal minim cahaya, dengan cahaya lilin dan lampu minyak itu pun mereka masih harus menanggung risiko bahaya kebakaran di malam hari.  Termasuk juga menanggung biaya bahan bakar minyak tanah yang apabila dibandingkan dengan pendapatan mungkin cukup memberatkan. Menggunakan lampu minyak juga bukan kabar baik untuk kesehatan.  

Penjelasan tentang Sistem Pencahayaan Energi Surya 
Di pelosok desa yang miskin cahaya pada malam hari itu, sebetulnya kaya cahaya di siang hari.  Cahaya matahari melimpah di setengah tahun sepanjang musim kemarau. Jadi, betul adanya pernyataan yang mengatakan di setiap masalah sebenarnya jawabannya tidak jauh dari tempat masalah itu. Tinggal kita sendiri yang perlu berpikir dan menemukannya.  Masalah miskin cahaya pada malam hari sebenarnya solusinya disediakan pada siang hari.  Cahaya matahari!  Nah, tinggal bagaimana caranya mengembangkan teknologi untuk menyimpan tenaga surya itu hingga dapat digunakan sebagai sumber energi untuk menyalakan lampu di malam hari.  

Inilah yang ditangkap oleh PHILIPS, lalu diterjemahkan sesuai keahliannya di bidang  pencahayaan. Konsepnya, tenaga surya yang tersimpan digunakan untuk menyalakan bohlam Light Emitting Diode (LED) berdaya rendah sehingga lebih hemat energi.  LED sudah dikenal jauh lebih efisien dibandingkan lampu neon apalagi lampu pijar. 

Sessi tanya jawab dengan media dan komunitas
Sejak beberapa tahun lalu, PHILIPS Lighting Indonesia kemudian mulai melakukan pendataan terhadap wilayah desa di pelosok yang dalam waktu dekat kemungkinan belum terjangkau oleh listrik negara namun berpenduduk cukup padat.  Pada tahun 2015, sembilan desa yang berada di 3 kabupaten di Sulawesi Selatan mulai merasakan teknologi instalasi pencahayaan LED tenaga surya yang digagas dalam program Kampung Terang Hemat Energi.

Sempat selfie di depan foto masjid yang mendapat pencahayaan
dari PHILIPS LED tenaga surya
Penerangan yang diberikan ini mencakup lampu-lampu jalan di sepanjang jalan kampung, penerangan di tempat umum seperti balai desa, masjid, dan Puskesmas, serta di dalam rumah warga desa.  Konsepnya, dengan begini Puskesmas bisa melayani kegawatdaruratan di malam hari, beribadah ke masjid malam hari pun jadi lebih tenang tanpa kuatir melewati jalan yang gelap.  Balai desa pun jadi berfungsi lebih optimal. Di rumah-rumah, anak-anak bisa belajar kembali di malam hari.  Para ibu bisa menjahit dan melakukan beberapa pekerjaan untuk menambah pendapatan rumah tangga. 

Menurut Saya, ide CSR-nya sederhana tapi solutif. Namun realisasinya membutuhkan teknologi dan kemauan yang sangat besar. Pertama yang terpikir oleh Saya adalah, jalur untuk sampai ke pelosok pasti sangat menantang.  Terbayang jika harus membawa peralatan teknologi ke pelosok sana dan merakitnya hingga berfungsi. Sekaligus terbayang rasa puasnya.  

Foto yang menggambarkan pengangkutan alat pencahayaan
ke pelosok 
Satu hal yang penting, sebuah ide hanya akan jadi ide saja bila tidak direalisasikan.  Dalam kehidupan sehari-hari saja kita mungkin sering membiarkan ide ide sederhana yang sebetulnya inovatif serta menjadi solusi bagi berbagai masalah tetap sekedar jadi ide. Tidak direalisasikan.  Bersyukurlah berbagi cahaya dan tekad mengakhiri kemiskinan cahaya ini direalisasikan oleh PHILIPS.  

Foto yang menggambarkan pengangkutan alat pencahayaan
ke pelosok

Setidaknya, PHILIPS sedang menunjukkan kepada kita semua tentang tekad memunculkan CSR yang manusiawi, inovatif, dan berkelanjutan. Manusiawi karena fokus pada unsur “human”.  Inovatif karena mendorong pembaruan dalam pemanfaatan energi surya sebagai sumber energi terbarukan. Berkelanjutan karena setelah dilaksanakan pada tahun 2015 di 300 titik di Sulawesi Selatan, tahun ini program serupa akan diperluas ke 2.886 titik di Sumatera Utara, Bali Timur, Kalimantan Tengah, dan Maluku.  Jauh-jauh ya? .... Kenapa sih tidak di wilayah yang dekat saja sekitar Jawa Barat pelosok pun masih banyak yang miskin cahaya?  Pertimbangannya jatuh pada kemungkinan belum terjangkaunya mereka di wilayah 2.886 titik itu oleh PLN dalam waktu dekat dan jumlah penduduknya yang cukup padat. 

Penjelasan mengapa dipilih cahaya matahari sebagai sumber energi

Saya membayangkan, belajar dari berbagi cahaya di tengah kemiskinan cahaya ini, ke depannya mungkin kita akan semakin tergerak untuk mengembangkan teknologi tenaga surya sebagai sumber energi terbarukan. Kita perlu dicambuk untuk tidak menafikan kekayaan negeri yang melimpah itu, serta tidak terlambat merealisasikan ide-ide anak muda. 

Ajakan untuk mengakhiri kemiskinan cahaya
Ke depan, mungkin anak-anak kita selain menggunakan lampu energi surya juga mengendarai mobil energi surya, dan bahkan mengekspor energi surya dalam bentuk simpanan sebagai sumber energi ke pasar dunia.  Kenapa tidak....  Bukankah selain mengakhiri kemiskinan cahaya kita juga ingin lepas dari ketergantungan terhadap bahan bakar fosil?

Belajar dari berbagi terang di tengah kemiskinan cahaya, Saya lalu pulang dan memeluk anak-anak.  Ke telinga mereka Saya bisikkan,” Sudah berbagi apakah hari ini, Nak?”  sembari juga bertanya kepada diri Saya sendiri, sudah berbagi apakah saya terhadap sesama pada hari ini?... Dan akan berbagi apakah Saya esok?  (Opi) 

4 komentar

  1. eh, ada teh Ninitttt... #salfok ;p

    waa keren yah acaranya Philips kemarin, semoga makin banyak terang yang bisa dinikmati oleh warga yang membutuhkan..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya semeja sama teh ninit dan teh Ipeh 😍
      Iya aamiin.....

      Hapus
  2. Unik konsep penyelenggaran dari Philips. Baca cerita Mba aku jd beneran ngebayangin, gimana ya kalo kita yg tiap malamnya gelap2an bgt. Hilang sudah mood buat ngeblog.
    Pelajaran seta informasi yg didapat dari acara ini, yg pertama tuh rasa syukur dab yg Kedua lampu dr simpanan tenaga surya, ini Keren banget. Dulu wktu kecil pernah kepikiran mau buat alat yg bs simpan cahaya matahari, tp Philips berhasil mengembangkannya dan aku penasaran gmn tahapan buatnya 😄

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hooh konsepnya unik mba Septi. Sy perhatiin si Philips ini emang concern nyata buat inovasi. Mudah mudahan konsisten yah dan bs jadi inspirasi juga buat PLN ngembangin tenaga surya buat listrik.
      Utk teknologi suryanya Philips ini bermitra dgn LSM Dan Sempet dijelasin tahapannya tp teknis bnget jd ngga kutulis mba....
      Ribet sendiri akunyaaahh

      Hapus

Terima kasih telah berkunjung dan membaca artikel ini. Silakan tinggalkan jejak di komentar dengan bahasa yang sopan. Mohon tidak meninggalkan link hidup. Terima kasih.