Ulasan Buku : Didiklah Anak Sesuai Zamannya




Ketakutan berlebihan para orang tua akan pengaruh negatif gawai terhadap anak-anak adalah bukti ketidakmampuan mereka dalam beradaptasi dengan perkembangan zaman.  Ketakutan yang ironi. Orang tua sendiri tak bisa lepas dari gawai, lalu sang anak diminta untuk tidak menyentuh gawai? Orang tua tak hadir saat anak ingin melakukan aktivitas fisik bersama, tapi anak dimarahi ketika beralih ke gawai? Ironi ini perlu disadari orang tua agar bertindak solutif.  Tamparan bagi para orang tua, ya memang, tapi demikianlah adanya yang terjadi.  


 Anak-anak yang terlahir di masa kini adalah milik zamannya sendiri.  Tidak dapat ditentang atau dilawan.  Kita para orang tua tidak bisa lagi memaksakan nostalgia akan masa kecil yang bebas di sawah dan kebun bersemak belukar ketika semuanya telah berubah jadi bangun ruang berlayar digital.  Lalu bagaimana? 

“Didiklah anak-anakmu sesuai dengan zamannya karena mereka hidup bukan di zamanmu.” – Ali Bin Abi Thalib  

Mendidik anak sesuai dengan zamannya adalah kunci.  Orang tua pun diminta untuk beradaptasi dengan era baru.  Mengoptimalkan potensi anak di era digital ada caranya.  Kunci jawaban dan cara inilah yang dibahas dalam format tanya jawab di buku “ Didiklah Anak Sesuai Zamannya” yang ditulis oleh Nyi Mas Diane Wulansari. Syaratnya, orang tua harus mau berubah dan memahami kebutuhan anak secara bertanggung jawab.  Sebab, bagaimanapun jadinya anak adalah karena hasil tindakan orang tuanya.  

Buku ini tidak hanya enak dibaca, tetapi juga penting untuk dimiliki orang tua sebagai referensi.  Isi buku ini menjawab segala tantangan era digital apa adanya.  Tidak hanya memberikan saran bagi para orang tua dalam bertindak, tetapi juga memberikan solusi bagaimana agar anak-anak mempergunakan gawai dengan semestinya.  Tanpa menghakimi, buku ini menyajikan rekomendasi yang dapat dipertanggungjawabkan seputar penggunaan gawai bagi anak.


Mengendalikan Teknologi 


Buku ini diawali dengan ajakan yang mendasar dalam menyelami era digital, yaitu mari kita kendalikan teknologi agar teknologi tidak mengendalikan kita. Manusia menciptakan teknologi untuk mempermudah dan meningkatkan kualitas kehidupan. Karena itu, sepantasnya manusia memegang kendali terhadap teknologi yang diciptakannya.  Bukan malah dikendalikan oleh teknologi sehingga terenggut kebebasannya. 

Bagaimana cara orang tua mengendalikan teknologi?  Tidak lain dengan penuh kesadaran menyediakan waktu yang cukup untuk memperhatikan, mendampingi, dan mengawal anak-anak dalam menggunakan teknologi baru yang muncul.  Selain itu, cara yang penting dilakukan adalah meningkatkan daya literasi teknologi orang tua agar memiliki kemampuan menyaring informasi.



Minimnya literasi digital yang berpadu dengan kesibukan orang tua sehingga enggan mendampingi anak, akan menciptakan kondisi asosial antara orang tua dan anak. Masing-masing berjalan sendiri dan semakin asing dari hari ke hari. Ditambah dengan sikap orang tua yang selalu ingin agar anak-anak menuruti kemauan mereka, jadilah semakin jauh dan dalam jurang komunikasi akan terentang. 

Era Digital, Generasi Digital, dan Optimalisasi Potensinya


Tanya jawab dalam buku ini disajikan agar orang tua mampu melindungi anak-anak dari ancaman era digital, tetapi tidak menghalangi potensi manfaat yang ditawarkannya. Menurut buku ini, mendidik anak di era digital merupakan suatu proses pendampingan dan dialog dalam membangun ikatan emosional (bonding) dengan memberi latihan lengkap.  Latihan itu mencakup ajaran, tuntunan, dan pengetahuan mengenai akhlak dan moral anak didik, dengan menggunakan sistem digital untuk kehidupan sehari-hari dan dilakukan sejak usia dini.   

Era digital adalah suatu masa ketika sebagian besar atau seluruh masyarakatnya menggunakan sistem digital, teknologi komputer, dan internet dalam kehidupan sehari-hari.  Sistem digital ini telah terbukti mutakhir dari sistem yang telah dikembangkan sebelumnya, yaitu sistem analog.  



Di era digital terdapat dua generasi berbeda yaitu Generasi Digital Native dan Immigrant Digital.  Anak-anak era kini sebagai Generasi Digital Native adalah mereka yang lahir di masa perkembangan teknologi digital tengah berlangsung.  Generasi ini sudah mengenal internet sebelum mulai belajar menulis.  Sementara kebanyakan orang tua adalah Generasi Immigrant Digital, yaitu mereka yang lahir saat teknologi digital belum berkembang pesat.  Generasi ini telah berusia dewasa ketika internet mulai berkembang pesat.  

Gap ini pada kenyataannya membentuk cara pandang yang berbeda antar generasi. Orang tua sebagai generasi yang mengenyam masa di mana teknologi belum berkembang versus masa kini di saat terknologi begitu pesat, dihantui oleh ketakutan akan intrusi kebebasan yang kebablasan pada anak-anak  mereka.  Sementara, mereka sendiri asyik menikmati teknologi baru itu.  



Orang tua diharapkan mampu melindungi anak-anak dari ancaman era digital, tetapi tidak menghalangi potensi manfaat yang ditawarkannya.  Hal yang menjadi PR besar bagi orang tua adalah mempersiapkan anak-anak dalam menghadapi zamannya, yang bukan zaman orang tua. Visi besarnya tentu agar anak-anak menjadi pribadi yang bermanfaat dan berdaya guna, serta menjadi amal kebaikan kelak di akhirat.  Dari sinilah pentingnya para orang tua berkembang, sehingga perlu menyesuaikan dengan pendidikan anak-anak kita.  

Di dalam buku ini, dikemukakan secara sederhana dalam bentuk tanya jawab hal-hal mendasar yang berkaitan dengan optimalisasi potensi anak di era digital.  Mulai dari rekomendasi batasan-batasan  konsumsi gawai pada anak, kebiasaan-kebiasaan buruk orang tua memegang gawai di depan anak, media sosial dan proteksinya bagi anak dan remaja, hingga perihal kecanduan gawai dan pornografi. 

 
Kapan Anak Boleh Punya Gawai? 


Sebelum membaca buku ini, saya kesulitan menjawab pertanyaan anak sulung, ”Kenapa aku ngga boleh punya ponsel sekarang?” Ketika itu anak sulung saya duduk di kelas 3SD, dan saya tidak memenuhi permintaannya untuk memiliki ponsel seperti teman-temannya yang lain. Setelah membaca buku ini, saya bisa mengajaknya duduk santai dan membaca bersama.  


Di halaman 25, buku ini menjelaskan tentang penelitian American Academy of Pediatrics (AAP) yang merekomendasikan gawai hanya untuk anak usia di atas 13 tahun.  Begitupun para tokoh dunia seperti Bill Gates, Steve Jobs, dan Hawlett Packard tidak memberikan gawai pada anak mereka sebelum usia 14 tahun.  Maka saya pun membuka jalur cakrawala kepada si Sulung, bahwa para tokoh pencipta teknologi gawai itu sendiri tidak mengizinkan anak mereka untuk punya gawai sebelum usianya 14 tahun.  Mereka pencipta teknologi paham betul dampak negatifnya, dan tidak rela anak kesayangan mereka dikendalikan teknologi.



Anak sulung saya ternyata  dapat menerima penjelasan ini. Dapat diterima oleh logika berpikirnya. Ia pun lalu mulai tertarik membaca sejarah para tokoh dunia yang membawanya pada cakrawala baru yang lebih luas.  Ia tidak keberatan ketika saya memperkenalkan metode yang digunakan keluarga Bill Gates terhadap ketiga anak mereka yaitu: 

1. Melarang anak memiliki ponsel sebelum usia 14 tahun
2. Membatasi screen time, sehingga anak memiliki lebih banyak waktu untuk dihabiskan bersama keluarga
3. Tidak mengizinkan anggota keluarga membawa ponsel saat makan bersama
4. Menentukan jam berlaku untuk menatap layar digital setiap hari, sehingga bisa pergi tidur tepat waktu.  Diusahakan satu jam sebelum tidur tidak lagi bermain gawai. 

Mengganti Gawai dengan Buku Bacaan?


Buku ini mengajarkan bahwa memupuk gairah membaca sejak dini, jauh lebih dini dari memperkenalkan gawai pada anak, adalah sangat baik.  Kemampuan literasi yang terbentuk sejak dini akan membiasakan anak untuk lebih senang membaca dan menelusur informasi secara tersistem.  
Lebih dulu menumbuhkan kecintaan membaca buku akan mempermudah orang tua untuk mengajarkan anak-anak mengendalikan teknologi perlahan-lahan. Tapi jika orang tua sudah lebih awal memperkenalkan gawai dan layar digital sejak anak belum terbiasa untuk membaca, kreativitas anak akan jadi rendah.  Kemungkinan besar anak akan jadi malas membaca dan kurang mencintai ilmu pengetahuan. 



Membaca itu pada awalnya bukan diajarkan, tetapi ditularkan. Anak-anak akan mencintai buku bacaan dan terbiasa membaca apabila melihat orang tuanya sebagai role model.  Jangan pernah bermimpi anak-anak gemar membaca jika orang tua tidak pernah membacakan buku untuk anaknya, mengajak ke perpustakaan dan ke toko buku, atau menghadiahkan buku-buku pada anak-anak sejak dini.  

Mempertahankan Kebersamaan di Era Digital 


Bagian akhir buku ini memuat langkah-langkah bijak dan cerdas mendidik anak di era digital bagi para orang tua, sehingga potensi anak melesat dan kebersamaan keluarga tetap terjaga.  Kuncinya orang tua harus menyediakan waktu untuk belajar menjadi role model dan mendampingi putra putrinya.  

11 langkah yang disarankan buku ini adalah: 

1. Tetap berdoa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan bertekad untuk mengontrol diri 
2. Membuatkan jadwal atau buku harian media, misalnya waktu yang dapat digunakan untuk menonton televisi, berselancar di internet, atau bermain game
3. Orang tua berperan serta bersama-sama lembaga pendidikan yang terkait dengan anak
4. Memupuk kecintaan kepada pengetahuan 
5. Menghadirkan sarana berkualitas di rumah
6. Membaca buku bersama anak dan menumbuhkan kecintaan buku pada anak.  Jadikan kegiatan membaca sebagai aktivitas yang menyenangkan dan bermakna bagi anak.  Pupuklah gairah anak untuk membaca sejak dini karena membaca merupakan kunci pembuka jendela dunia.  Saat kunci tersebut ditemukan, mereka akan siap menghias dunia dengan penuh warna.   
7. Membatasi penggunaan media digital dengan membuatkan jadwal atau buku harian media dan pendampingan 
8. Mengaktifkan parental control atau media pengendali di bawah pengawasan dan bimbingan orang tua 
9. Membuat kesepakatan terkait acara TV yang boleh ditonton dan pastikan acara tersebut memang untuk anak-anak
10. Mendorong anak untuk melakukan aktivitas, terutama di luar ruangan, dengan teman sebaya dan bersama orang tua seperti bercocok tanam, bersepeda, bermain layang-layang, bermain bola, bermain permainan tradisional seperti gangsing, petak umpet, dan berolahraga serta main catur
11. Jadilah role model bagi anak 



Orang tua patut sepenuhnya sadar, bahwa ketika zaman berubah maka tantangannya pun berubah.  Anak-anak akan hidup dalam kedewasaan di zaman kelak di mana orang tua sudah jadi abu. Tidak ada yang paling bijak kecuali membukakan pintu bagi mereka menyongsong zamannya dengan daya survival maksimal.  Dan itu tak akan tercapai dengan cara melarang anak main gawai saja. Gawai hanyalah alat.  Lebih dalam di balik itu, orang tualah yang bertugas menjalin hubungan hangat dengan anak dan mendampingi mereka menggali potensi diri dengan penggunaan gawai yang semestinya.   

Buku ini sesuai untuk cermin para orang tua, apakah kita sudah menjadi role model yang pantas bagi anak-anak kita?  (Opi)




INFORMASI BUKU 

Judul :  Didiklah Anak Sesuai Zamannya : Mengoptimalkan Potensi Anak di Era Digital
Penulis :  Nyi Mas Diane Wulansari (Dee Motivational) 
Penerbit PT Visimedia Pustaka,  Jakarta 
Tebal buku : x+190 hlm, 215 x 200 mm 
ISBN (13) 978-979-065-290-3
Cetakan pertama, 2017 
Harga Rp. 95.000,-
Juga tersedia dalam versi e-book di Google Play 

10 komentar

  1. Yep! Kita tak bisa melarang anak memakai gadget. Tapi wajib mengajarinya untuk bijak dlm menggunakan gadget.

    BalasHapus
  2. Buku yang menarik. Banyak orangtua yang memfasilitasi anak-anaknya dengan HP dan digunakan sesuai keinginan anak, ada yang melarang, ada yang membatasi, tapi catatan penting adalah mendampingi. Ini menjadi sentilan juga buat aku yang membatasi anak-anak menonton Youtube tapi nggak selalu ada di sisi mereka saat mereka menontonnya. Padahal bimbingan dari orangtua itu penting.

    Karena kesibukan #Halah, sepertinya aku hanya akan memberikan gawai saat aku pun bisa mendampingi mereka menonton. Ya nggak, sih?

    BalasHapus
  3. Hai Kak... suka banget cara mendidiknya dengan tidak memperbolehkan anak usia dini memiliki gawai. Padahal kalau aku lihat sekarang, rata-rata orang tua membiarkan anak-anaknya memiliki gawai. Bahkan sering kali anak membeli gawai kalau sudah dapat uang saku hari raya / natal.

    Keren cara reviewnya. :)

    BalasHapus
  4. Iya setuju mbaa, bisa mengendalikan teknologi. Bagus ya mba bukunya, bbrp kali lihat reviewnya..

    BalasHapus
  5. Masukan yang sangat berharga nih. Bagaimana cara mendidik anak-anak sesuai zamannya. Bagaimana agar anak-anak dapat mendapatkan dampak positif dari gawai, bukannya malah terdampak negatifnya. PR banget nih

    BalasHapus
  6. Memang iya sih harus mendidik anak mengikuti jamannya. Kalau sekedar melarang anak memegang gawai susah juga. Apalagi anak sekolah karena guru seringkali memberi tugas yang nantinya cari via internet. Mau ke warnet jauuh satu2nya ya lewat gawai punya ortu. Disini peran penting ortu supaya anak tetap searching sesuatu sesuai yang dia cari.

    BalasHapus
  7. makasih reviewnya, betul ya, akrena perkembangan jaman yang berbeda sbg ortu juga hrs mengikuti jamannya

    BalasHapus
  8. KAdang-kadang aku juga masih kebablasan meminta anak-anak kembali ke jaman batu eh maksudku jaman ibunya. Tapi ya nggak bisalah. Jadi ya harus sadar bahwa jaman telah berubah. Soal gadget ini memang beneran berat buat aku. Karena saat aku butuh mengerjakan urusan RT atau pekerjaan menulis, aku butuh pengalihan, akhirnya ya gadget ini. Selebihnya, aku selow ya main sama mereka. Makanya kadang suka galau antara kerjaan sm momong anak.

    BalasHapus
  9. Hai mbak opi, akhirnya aku menemukan kesempatan untuk meninggalkan jejak. Hahah.
    Aku rasa semua pakar parenting yang aku temui sepakat dengan pesan dari Ali bin Abi Thalib, " Didiklah Anakmu Sesuai Zamannya"

    Anak-anak kita akan jadi generasi Z ya mbak? Bener kan? Aku juga berusaha banget mencari jalan tengah, gimana caranya supaya kita bisa ambil yang baik-baik dan buang yang buruknya. Gimanapun, semua hal punya dua sisi mata uang.

    Makasih ulasannya mbak, jadi banyak berpikir ulang tentang apa yang sudah aku lakukan selama ini. Mumpung si abang masih 6 tahun

    BalasHapus
  10. Wah, makasih reviewnya, mbak. Jadi kepingin baca bukunya nih!

    Di satu sisi kami sendiri nggak bisa bilang gadget nggak bermanfaat, karena saya & pak suami juga mendapat uang dr situ (kami desainer freelance, jadi sering banget ngecek email dari klien & cari job pakai freelancing apps).

    Tapi di sisi lain, Saya suka miris lihat anak kecil di tempat umum udah sibuk sendiri dengan gadget-nya, atau lihat ponakan masih balita tapi selalu merajuk tiap kali nggak boleh pegang gadget. Kok rasanya pingin nangis klo ngebayangin anak kami sampe kaya gitu.

    Waktu baca resensinya di artikel ini, rasanya klop. Mungkin buku ini bisa membantu untuk menjawab kegelisahan saya... :D

    BalasHapus

Terima kasih telah berkunjung dan membaca artikel ini. Silakan tinggalkan jejak di komentar dengan bahasa yang sopan. Mohon tidak meninggalkan link hidup. Terima kasih.