Perempuan Pekerja, Berproses dalam Produktivitas



“Bagiku, berproses itu seperti tahapan berjalan mendekat ke garis keseimbangan, agar tercipta harmoni yang utuh.  Aku perempuan pekerja, dan masih terus berproses dalam Trilogi: Belajar-Bekerja-Berkarya sepanjang nafas terhembuskan”

Mataku sudah berkunang-kunang sejak sepasang kaki ini melangkah masuk ke dalam gerbong khusus perempuan Kereta Rel Listrik (KRL) Commuterline jurusan Jakarta Kota- Bogor yang penuh sesak. Rasanya kok seperti ada bintang-bintang yang berputar-putar di atas kepala, macam adegan di film kartun saja.  Lalu agak gelap sesaat, tiba-tiba kembali terang. Pandanganku mulai tidak fokus.  Tubuhku meliuk searah desakan kanan-kiri-depan-belakang dari penumpang kereta. Berhimpitan seperti ikan sarden dijejal dalam satu kaleng. Bernafas pun jadi sulit. Jam pulang kerja, memang selalu seperti ini kondisinya. Sudah biasa. 

Suasana pulang kerja dalam Commuterline yang mengantarku pulang kerja dari Stasiun Cawang ke Depok 

Sejak naik di Stasiun Cawang tadi, tubuhku sudah terasa tak karuan. Tiga hari terakhir ini, terpaksa baru bisa meninggalkan kantor selepas Isya.  Ada request pekerjaan yang harus selesai.  Paginya harus sudah tiba lagi di kantor sebelum pukul delapan. Terlambat satu detik saja, tunjangan operasionalku dipotong sesuai aturan.  Berdiri berdesakan di kereta saat jam berangkat-pulang kerja sudah jadi menu wajibku Senin sampai Jumat. 

Kehujanan tiga hari berturut-turut saat pulang kemalaman pun ternyata menyumbang penat yang dalam.  Tubuh serasa remuk redam.  Naluri seorang ibu agar segera tiba di rumah memeluk anak-anak adalah alasan terkuat untuk secepatnya meluncur pulang sore ini.  Mata yang berkunang-kunang dan tubuh meriang menemaniku di sepanjang perjalanan pulang. 

Gerbong Perempuan Commuterline 

Di tengah gerbong yang penuh sesak, kucoba berdiri tegak.  Bertahan.  Tidak ada harapan untuk diberi tempat duduk.  Biarlah, batinku.  Tiga puluh menit berdiri, dan aku akan sampai di Stasiun Depok, hiburku dalam hati sambil menahan sakit kepala.  

Beberapa detik sebelum kereta berhenti di stasiun tujuan, tubuhku melunglai. Belum sempat meraih pegangan, tubuh lemahku terlanjur merangsek di gerbong padat yang menyisakan teriakan kaget para penumpang. Sekilas aku masih sempat mendengar pekik nyaring seorang perempuan,” Tolong mba, kasih tempat duduk, ini ada yang mau pingsan!”  Kemudian gelap.  Aku tak ingat apa-apa lagi.



******


Setiap kali mengingat kejadian pingsan di kereta dalam perjalanan pulang kerja, aku nyengir kuda. Sampai segitunya kubela-belain kerja kantoran ya. He He he. Menempuh perjalanan Depok-Jakarta pp sejauh 23 km dengan moda transportasi kereta api nyambung ojek daring setiap hari.  Naik mobil? Olala…Bisa tua di jalan!

Perjuangan setiap hari dengan ratusan pekerja perempuan untuk transportasi pulang pergi bekerja
Aku pun siap bermantel kala musim hujan tiba, tapi tetap saja diserang masuk angin.  Siap pula gerah-garahan berdesakan di gerbong bagai ikan dipepes, setiap pagi dan petang. Pulang lebih malam jika ada pekerjaan yang tidak dapat ditunda, itu sudah biasa. Kedengarannya ya semua biasa.  Tapi menjalaninya selama 14 tahun lebih, bekerja di kantor yang sama tanpa kenaikan jabatan yang berarti, sejak masih lajang hingga beranak pinak, kadang membuat orang geleng kepala.  Kok aku bisa bertahan ya? Nyengir kuda lagi deh. Bisa dong!

Stasiun Depok 
Kuingat lagi peristiwa pingsan di kereta. Agak memalukan, iya sih.  Mengira diri masih kuat bertahan sampai Stasiun Depok, eeee tahunya malah pingsan tepat ketika kereta berhenti di stasiun tujuan. Waktu sadarkan diri, aku sudah dalam keadaan terbaring di ranjang darurat ruang kesehatan Stasiun Depok. Rupanya, saat pingsan tadi petugas KRL sigap menggotongku keluar dari kereta lalu membaringkanku di peron. Beberapa petugas lain datang membawa tandu. Serta merta aku ditandu ke ruang kesehatan.  

Seorang perempuan berpakaian putih menyapa ketika melihatku siuman.  Aku diberinya air hangat, lalu ditanya apa yang dirasa sakit.  “Tidak ada mba.  Cuma pusing sedikit,” jawabku.  Ia memeriksa tekanan darah dan memberiku biskuit.  Setelahnya aku dimintai informasi nama dan kejadian, serta kartu identitas diri.  

Stasiun Depok 

“Apakah ada keluarga Ibu yang dapat dihubungi untuk menjemput ke sini? Suami barangkali?” tanya mba petugas perawat. 

“Hmm, tidak ada mba.  Suami sedang dinas. Kayaknya, kuat kok pulang sendiri,” ujarku.  

Percaya atau tidak, aku berhasil selamat sampai di rumah naik ojek daring tanpa dijemput keluarga.  Plus, baru berkabar pada suami yang masih bertugas di luar negeri pada malam hari sebelum tidur.  Setelahnya, berbaringlah aku beristirahat ditemani baluran minyak kutus kutus dan empat helai koyok edisi “HOT” (bukan lagi yang cuma varian “HANGAT”) tersebar di kening, tengkuk, punggung, dan perut! Tentunya setelah beres menemani anak-anak menyiapkan pelajaran untuk esok hari, mengantar mereka ke alam mimpi, plus menenggak jamu tolak angin.  Sempurna. 

Berpacu dengan waktu 
Esoknya, dengan tubuh yang masih ditebari tempelan koyok, aku berangkat kerja. He he he.  Seringnya sih dengan bumbu drama pagi. Mulai dari si bungsu yang baru mau bangun pagi setelah dikuyel-kuyel manja oleh ibunya, si sulung yang tiba-tiba tertidur lagi setelah shalat Subuh, sampai tabung gas yang tiba-tiba terdeteksi habis tepat di saat mba asisten sedang mendadar telur untuk sarapan para bocah.  Hiyaaaaaaaa….!!!.  Ngeri-ngeri sedap, aku menikmatinya.  Mengatur mood agar tetap bagus di pagi hari adalah tugas perdana, demi kelancaran aktivitas sepanjang hari. 

Suasana dalam gerbong perempuan commuter line yang kunaiki setiap hari 
Kok bisa aku menjalaninya selama belasan tahun? Tahun 2019 ini masuk tahun ke 15, dan aku akan berulang tahun ke 42. Kalau ditanya, jabatanku apa di kantor?  Biarlah kujawab dengan senyum saja.  Aku lebih suka dikenal sebagai Ibu Opi, Ibunya Dio (10 tahun) dan Ningrum (7 tahun). Yang jelas, teman-teman seangkatanku rata-rata sudah menjadi kepala cabang di kantor wilayah, atau jika kembali ke kantor pusat mereka telah menduduki jabatan Manajemen Kunci. Bahkan, angkatan di bawahku sudah menjadi atasanku.  

Kondisi ini sudah kubayangkan akan kuhadapi sebagai konsekuensi pilihan. Aku bahkan sudah merancang cara untuk menghadapinya. Caraku adalah dengan menghidupkan Trilogi Belajar-Bekerja-Berkarya. Ini hasil perenunganku yang dalam dan berdialog dengan diriku sendiri.

Trilogi “Belajar-Bekerja-Berkarya” 


Jabatan dalam karier di kantor, penting ya?... Bagi sebagian besar perempuan pekerja, barangkali ya.  Tetapi buat aku, yang sudah meluruskan niat sejak awal untuk apa aku bekerja di kantor yang sekarang, rasanya memang bukan yang terpenting. Sebagai penganut setia kelompok perempuan mandiri ekonomi, kupilih tetap bekerja setelah menikah.  Pasanganku sepakat, dengan syarat memprioritaskan keluarga di atas segalanya. Prioritas inilah yang sering membuatku melewatkan berbagai kesempatan promosi ke luar daerah.  Aku secara sadar dan konsekuen memilihnya.  

Suamiku sering ditugaskan untuk jangka waktu tertentu di negara-negara wilayah Asia.  Aku istrinya memegang komitmen tetap bersama anak-anak dan bekerja di Jakarta selama beliau bertugas ke manapun.  Home base kami di Depok.  Konsekuensinya, selama 14 tahun lebih masa kerjaku di perusahaan ini, selalu kulewatkan kesempatan promosi ke kantor cabang. Sementara untuk promosi di kantor pusat Jakarta nyaris mustahil bagi yang tidak pernah menduduki jabatan di kantor cabang. Termasuk aku.

Aku dan rekan kerja di kantor 


Promosi ke kantor cabang artinya harus meninggalkan anak-anak untuk jangka waktu yang aku sendiri tak pernah tahu berapa lama. Sementara pasanganku bertugas di lain negara. Kupilih untuk tetap menjaga komitmen dengan pasangan. Pilihan yang kusadari akan berujung pada “karier jalan di tempat”.  Tapi, pilihan sepaket dengan konsekuensinya itu kuambil secara sadar, kujalani setegar lagunya Rossa.  Aku paham tak kan sanggup membayar hutang pengasuhan yang terlalu banyak pada anak-anakku, seandainya kutinggalkan mereka di usia balita hingga Sekolah Dasar untuk meraih jabatan yang semakin tinggi.  Hati kecilku bilang tidak.  

Satu alasan mengapa aku masih bertahan dalam kondisi “bekerja nyaris tanpa karier”, karena awalnya aku butuh kerja.  Suamiku mengalami pemutusan hubungan kerja ketika anak pertama kami berusia 2 tahun.  Selama enam bulan, beliau mengurus anak di rumah, sembari berusaha mencari pekerjaan baru yang sesuai.  Aku tetap berangkat ke kantor.  Selama enam bulan itu aku paham rasanya menjadi perempuan tulang punggung keluarga, yang semakin menguatkan empatiku kepada sesama perempuan pekerja di luar sana. Bersyukur, suamiku mendapatkan pekerjaan yang lebih baik setelahnya. Allah Maha Baik.

Aku dan anggota Tim Komersial di kantor tempatku bekerja 
Setelah itu aku dapat mengukur, pendapatanku sejujurnya tidak bisa dibilang kecil amat, walau juga tidak dapat dikatakan melimpah.  Tetapi ini adalah suatu hal yang wajib disyukuri. Karenanya aku bertahan.  Omong kosong jika perempuan tak butuh uang. Perempuan juga butuh materi yang didapat dari jerih payah bekerja, bukan semata pemberian suami, tapi sekaligus selalu tertantang untuk membuktikan bahwa bekerja tidak membuat abai pada fitrah sebagai ibu dan istri, pendidik utama anak-anak.  Semua itu proses yang kujalani. 

Dari Founder Institut Ibu Profesional Septi Peni Wulandani, aku belajar bahwa sejatinya belajar, mendidik anak, dan bekerja bagi seorang perempuan adalah hal yang berjalan beriringan. Ada masa-masanya lebih fokus membersamai anak hingga baligh, ada masanya lebih mengaktualisasikan diri di ranah publik. Perempuan berkualitas hanya fokus pada hal-hal penting dalam hidup.  Mereka mengatur waktu dan memanfaatkan teknologi, bukan dibunuh waktu dan diperbudak teknologi. 

Aku dan anggota Tim Komersial di kantor tempatku bekerja 
Sambil ngantor, aku punya cara agar tetap waras walau tanpa kenaikan jenjang karier di kantor. Aku menyebutnya Trilogi Belajar-Bekerja-Berkarya, yang dilakukan secara paralel.  Ini upayaku supaya otak tetap waras, jiwa tetap bersyukur, rekening pun terisi. Bahagia.  Kalau ibu bahagia, anak-anak kena imbasnya. Itu peganganku, dan kupraktekkan.  

Hobi menulis kuasah baik-baik setelah menyadari passionku. Menulis pun bisa jadi bisnis.  Kurintis dengan mulai belajar ngeblog, bergabung dengan komunitas blogger, terima job nulis, ikut lomba blog, hingga ikut proyek menulis buku.  Dengan manajemen waktu dan dukungan keluarga, semua ternyata dapat kulakukan sambil tetap bekerja di kantor. Nyaris tanpa dampak negatif.  Allah Maha Baik.  Kini, mimpiku untuk bisa menjadi penulis buku sendiri sedang kurajut.  Trilogi Belajar-Bekerja-Berkarya membuatku terus bermimpi, bersyukur, dan bercita-cita pulang ke akhirat dalam husnul khotimah, meninggalkan jejak dan karya. 

Bekerja di manapun bagiku tidak boleh menjadi penghalang untuk terus menghidupkan passion 
Anak-anak pun terimbas positif dari kegiatanku. Tak perlu lagi menyuruh mereka untuk rajin baca buku. Serta merta mereka ikut nimbrung ketika ibunya sedang asyik baca buku!  Anak sulungku yang berusia 10 tahun mulai paham makna “jerih payah” setelah melihat ibunya berulang kali menang lomba menulis dan mendapat hadiah.  Ia menjadi saksi bagaimana aku susah payah belajar memotret untuk mendapatkan gambar yang pas mendukung hasil tulisan.  Juga melihat ibunya bangun malam atau begadang menyelesaikan tulisan lomba.  Lalu bersorak senang ketika ibunya ditaqdirkan menang lomba blog atau lomba nulis!!

Air mataku sempat menetes haru ketika anak sulungku ini berhasil menjual kartu-kartu mainan kepada teman-temannya.  Sejumlah uang hasil jualan dikumpulkannya.  Dia berkata,” Aku belum bisa menang lomba nulis dan dapat hadiah seperti Ibu.  Sementara baru bisa jual ini untuk dapat uang yang halal,” katanya.  Ibu luluh.  Sejujurnya, syukurku membuncah. 

Bersama si Sulung yang mulai meniru banyak hal dari apa yang kulakukan 

Berproses dalam Produktivitas Menuju Harmoni Utuh


Aku semakin yakin bahwa mendekat ke garis keseimbangan dengan cara yang kupilih sudah tepat.  Hanya, perlu penajaman Trilogi Belajar-Bekerja-Berkarya dalam proses untuk terus produktif.  Produktif artinya menghasilkan hal-hal bermanfaat dan bernilai untuk orang-orang yang dicintai, juga masyarakat. Tantangannya, ini mesti dilanjut terus selama nafas berhembus, di manapun aku bekerja, di manapun aku berkarya. Aku berani ambil tantangan itu, dan semakin yakin bahwa karier di kantor bukanlah hal terpenting.  Menghidupkan Trilogi Belajar-Bekerja-Berkarya itulah yang lebih penting, dengan atau tanpa jabatan.

Aku dan sahabat terbaik 
Aku perempuan pekerja, yang sedang berproses dalam produktivitas.  Tidak mudah bagiku untuk menyesuaikan diri dalam dinamika kerja, sambil tetap berpegang teguh bahwa prioritas utama adalah keluarga.  Di kantor, aku pernah punya atasan yang berusia lebih muda dariku.  Ada masanya aku harus menekan ego, belajar untuk tahu menempatkan diri, sambil terus upgrade kemampuan dan wawasan. Bagai pisau, aku tidak mau jadi tumpul!   

Aku perempuan biasa.  Bisa minder terhadap rekan seangkatan yang sudah menduduki jabatan penting di kantor.  Kadang baper, cuma gara-gara mereka sekarang makin susah diajak ngumpul sekedar makan siang bersama, tidak seperti dulu ketika masih sama-sama staf.  Pernah juga ada rasa tersingkir, ketika kegiatan kantor sering berbasis jabatan. Rasanya seperti dipisahkan dari teman-teman sendiri. Itulah dinamika nyata bagian dari konsekuensi pilihan.  Aku paham untuk bersikap dewasa, menerimanya sebagai bagian dari perjalananku berproses dalam produktivitas.

Aku bersama rekan kerja 
Dalam berproses, kadang langkahku tegap, sesekali melunglai, dan tak jarang hampir berbelok ke arah yang tak tentu. Ada galau, ada pula euforia. Seiring dengan itu, aku percaya proses yang kujalani adalah bagian dari skenario Allah Maha Baik.  Iman kepada Rabb semesta alam membuatku selalu ingat petuah: jika lelah menepilah beristirahat, bukan mundur menyerah.    Setiap langkah harus berarti dan menghasilkan sesuatu yang bernilai sekaligus bermanfaat bagi orang-orang yang dicintai, juga semesta alam. Produktif? Ya, harus.  



Aku perempuan pekerja, dan akan terus berproses.  Sejatinya proses tak akan mengkhianati hasil.  Semoga aku termasuk golongan perempuan bahagia yang berani memilih. Bukan pasrah karena tak punya pilihan. Sekali memilih, selamanya konsisten untuk konsekuen.  Perempuan pekerja, apapun bidang pekerjaannya, berhak untuk bahagia dan menikmati setiap proses mendekat ke garis keseimbangan agar tercipta harmoni yang utuh dalam produktivitas. Dengan penuh syukur.  (Opi).

2 komentar

  1. Mba aq terharu bacanya, sq juga sama mba ibu bekerja dan harus rela kehilangan moment2 penting bersama anak. Tapi aq sadar ini pilihanku dan setiap pilihan ada resikonya. Biarlah orang tetap pada pendapatnya, toh yang tau kehidupan kita bukan orang lain tapi kita sendiri. Alhamdulillah suami juga mendukung, yg penting tidak melalaikan kewajiban sebagai istri dan ibu :)

    BalasHapus

Terima kasih telah berkunjung dan membaca artikel ini. Silakan tinggalkan jejak di komentar dengan bahasa yang sopan. Mohon tidak meninggalkan link hidup. Terima kasih.