Perempuan yang Terkikis Nuraninya

Ya bukan batu karang di lautan aja kali yang bisa terkikis ombak eeaaa.. Nurani pun bisa terkikis oleh kerasnya hidup.

Iya kah?..

Kerasnya hidup dan ketatnya persaingan konon membuat orang lebih terpacu untuk survive. Ya, barangkali benar. Tapi nampaknya, ada yang terkikis nuraninya saat kerasnya hidup dan ketatnya persaingan tidak disertai dengan apresiasi ataupun perolehan reward yang sepadan. Secara jasmani mampu survive, tetapi secara ruhaniah nuraninya terkikis perlahan-lahan.

Fenomena ini saya temui pada perempuan pekerja yang sehari-hari terbiasa dengan “pertempuran luar biasa” di Commuter Line Jabodetabek. Pergi dan pulang kerja  menggunakan jasa angkutan Kereta Rel Listrik (KRL) yang dikelola PT KAI bukan saja butuh stamina fisik yang tinggi, tapi juga mental yang baja. 

Suasana di gerbong perempuan 

Pada jam sibuk pergi dan pulang kerja, hampir tidak ada gerbong yang tidak sesak. Saya katakan bukan sekedar penuh ya, melainkan sesak. Betul-betul sesak sampai proses penutupan pintu gerbong secara otomatis harus seringkali terhambat. Ada saja yang menyembul dan mengganjal, entah itu tangan penumpang, atau tas yang nongol keluar akibat begitu sesaknya isi gerbong.

Saat saat gerbong lowong hanya terjadi di masa pandemi Covid-19 dua tahun terakhir lalu. Itu adalah saat kebanyakan pekerja melaksanakan kerja remote dari kediaman masing-masing (work from home).  Setelah PPKM dilonggarkan dan kini semakin longgar, kepadatan di kereta kembali seperti dulu. Balik desak-desakan lagi......

Susana lowong longgar di KRL saat pandemi Covid-19

Jadi, perempuan-perempuan pekerja yang berjejalan di dalam gerbong itu, setiap hari harus mempersiapkan fisiknya untuk tergencet, terhimpit, terdesak, dan terdorong. Jangankan untuk bergerak atau menggeser posisi, bernafaspun harus tersodok-sodok kepala orang yang ada di depan dan samping. Saking padatnya. 

Waiting for the train

Nasiblah... kalau tersodok kepala mba-mba berhijab yg kondenya segede alaihim.  Nasib pula kalau tersodok kepala perempuan tanpa hijab yg rambutnya dicepol ke belakang tapi mungkin belum sempat keramas.  Eeeaaa ... Aromanya lumayan bikin auto ngedumel.  Serasa pengen jualan shampo aromaterapi dah... Nanti saya kasih mba-nya satu botol sampel. Heee.... makanya pakai masker double ha ha ha.

 

Di gerbong satu dan delapan atau sepuluh, para perempuan itu mungkin masih bisa menahan risih karena berdesakan hanya dengan sesama perempuan. Sebab gerbong paling depan (satu) dan paling belakang (8 atau 10) adalah gerbong khusus perempuan. Bagaimana dengan gerbong dua sampai sembilan?..... 

Gerbong perempuan (gerbong1,8,10,atau 12) ditandai
dengan hiasan feminin dari sponsor

Mohon maaf, saya tidak berani mengulangi untuk naik di gerbong campur, karena rasanya amat sangat risih. Berdiri berdesakan tanpa jarak antara laki-laki dan perempuan, itu sangat jauh dari nyaman. Diberi tempat duduk?... Bermimpilah. 

Dengan membawa perut besar karena sedang mengandungpun, Anda harus siap dengan kekejaman di arena ini karena jika kursi prioritas telah penuh terisi, mungkin hanya satu dari sekian puluh penumpang yang ridho memberikan kursinya pada Anda.

Suasana di pintu masuk Stasiun Depok Lama pagi hari
Antri buk...!

Saya mengalami dua kali mengandung selama menggunakan jasa commuter line, dan sudah terbiasa dengan kekejaman ini. Karena merasakan betapa beratnya menanggung resiko itu, saya bersumpah tidak akan pernah membiarkan orang hamil berdiri di kereta. Resiko kontraksi akibat terlalu lelah dan tegang, resiko terjatuh karena terdorong, dan resiko pendarahan. Saya rasa semua perempuan sadar bahwa dalam kondisi ini, mereka bertaruh nyawa. Nyawanya, dan nyawa bayinya.

Tahun-tahun belakangan ini, para ibu hamil telah diperlakukan lebih baik. Mereka difasilitasi dengan pin berukuran besar (nyari selebar tutup gelas), bertuliskan “IBU HAMIL” yang harus disemat di dada.  Sehingga, semua orang bisa langsung mendahulukan tempat duduk tanpa harus ada teriakan2 “Tolong yaaa, ada ibu hamil.” 

Penanda khusus gerbong pert6ama dan terakhir, ladies train

Belasan tahun lalu, ketika saya hamil yang kedua dan ketiga, kondisinya jauh lebih buruk.  Tidak ada pin IBU HAMIL. Saya sering berdiri, dalam keadaan hamil, dari stasiun awal sampai tujuan. Jarang -bisa dihitung dengan jari-  yang rela memberikan kursinya untuk saya. 

Baiklah, itu tadi gambaran kasar saja. Bahwa fisik prima itu penting bagi para perempuan “anker” (anak kereta) atawa “roker” (rombongan kereta). Tapi secara mendetil, saya katakan bukan semata fisik saja. Mental lebih-lebih. 

Menurut Anda, masih mampukan Anda bersikap halus dan sopan ketika ada orang yang dalam kondisi ini tidak suka tubuhnya terdesak lalu dengan judes memaki Anda? Hei, naik taksi saja kalau tidak mau berdesakan ya.... mungkin kalimat itulah yang akan keluar dari mulut Anda. 

Gerbong pertama dan terakhir

Atau ketika ada yang dengan semena-mena mempertahankan posisi nyamannya sehingga mempersempit ruang gerak orang lain di sekitarnya? 

Atau yang dengan kasar menumpukkan barang-barangnya di atas tas laptop Anda?...  Masih bisa sabar?....  Bagus sekali jika YA.

Lalu, ketika ada yang tidak mau bergeser sementara Anda sedang berjuang mencari celah untuk bisa sampai di pintu kereta ketika stasiun tujuan Anda sudah dekat, masih bisa sabar dan tanang? Resikonya Anda tidak sempat turun dan pintu kereta sudah tertutup. 

Ketika ada yang minta diambilkan tas atau barangnya dari atas bagasi tanpa mengucapkan “Maaf”, “Tolong” dan “Terima Kasih”, sementara saat membantunya Anda hampir jatuh dan terinjak oleh yang lain, kira-kira bagaimana rasanya?....

Ya, rasanya memang perempuan-perempuan di gerbong KRL ini sudah terkikis nuraninya. Setiap hari dalam kondisi jauh dari nyaman, membuat mereka tak lagi humanis. Rasa kemanusiaan luntur. Saya rasa begitu ya, walau mungkin tidak seluruhnya demikian. 

Peron stasiun 

Turun dari kereta, saya sering merasa seperti memar-memar habis digebukin. Karena kadang posisi berdiri tidak sempurna, sebelah kaki tertekan tiang, atau miring. Kondisinya memang tidak manusiawi. 

Dampaknya, perempuan-perempuan di dalamnya juga kehilangan humanisme. Terkikis nuraninya. Tidak lagi peka untuk mengucapkan kata-kata yang sopan, dan barangkali kehilangan kelembutannya.

Pintu atas arah masuk Stasiun Cawang

Jangan sangka bahwa hanya perempuan yang berdiri saja yang tidak nyaman. Mereka yang duduk, sebenarnya juga kebagian tidak nyaman. Dalam kondisi sesak, baris pertama penumpang yang berdiri di hadapan para penumpang yang duduk akan otomatis merangsek ke arah mereka yang duduk. 

Dengkul dan kaki mereka akan menjadi korbannya. Belum lagi perjuangan dari duduk-berdiri-menerobos kerumunan sesak sampai ke pintu kereta saat akan turun. Anda perlu persiapan sejak setidaknya tiga stasiun sebelum stasiun tujuan.

Menyeberang 

Baiklah, seperti saya katakan di awal tadi, ini adalah gambaran kerasnya hidup. Perempuan-perempuan yang memilih bekerja di luar rumah dan tidak sedikit dari mereka yang karena kondisi harus menjadi tulang punggung keluarga. 

Saya sering bertanya, masih sanggupkan mereka ketika sampai di rumah untuk memeluk dengan kelembutan anak-anaknya, menyapa dengan kata-kata lembut penuh kasih sayang anak-anaknya, dan tersenyum manis kepada anak-anaknya?....

Setelah bekerja dari pagi hingga sore, ditambah bonus perjuangan pergi pulang kerja dalam moda transportasi kereta api yang seperti ini?... Masih bisa?...

Para perempuan ini, memang bisa survive dalam kerasnya hidup. Survive secara jasmani, YA. Tapi ruhaniah?... Mungkin mereka kalah..... Ya, karena nurani perlahan terkikis.... 

Peringatan dilarang melintas di rel 

Tidak lagi terlalu peka dengan toleransi sesama, menghargai orang lain, dan menolong dengan tulus. Merasa tidak perlu memberikan tempat duduk pada orang hamil karena kursi yang diduduki bukan kursi prioritas, dan merasa sudah harus berjuang untuk bisa duduk. Merasa tidak perlu minta maaf ketika tanpa sengaja menyikut atau menginjak orang, karena menganggap semua orang harus siap untuk disikut dan diinjak saat berada di kereta. Merasa tidak perlu mengucapkan terima kasih saat ditolong orang karena merasa tidak ditolong. Kemanusiaan sudah diabaikan.

Perempuan-perempuan yang terkikis nuraninya, dan mungkin salah satunya adalah saya, bagaimana mengembalikan humanisme itu ke dalam hati?.... 

Masuk Stasiun Cawang via pintu atas

Saya cuma punya satu jalan untuk saat ini, karena tidak mungkin mengharapkan kondisi perkeretaapian secara drastis berubah menjadi seperti di negara maju. Satu jalan yang mungkin bagi kita untuk mengembalikan nurani yang terkikis itu adalah sebuah tekad merubah mindset. 

Jika saat ini mindset kita adalah: Saya diperlakukan tidak manusiawi, karena itu wajar jika saya juga memperlakukan orang lain secara tidak manusiawi. Ubah mindset itu dengan : Saya diperlakukan tidak manusiawi, dan saya merasakan betapa tidak enaknya diperlakukan begitu, maka saya tidak akan sekalipun memperlakukan orang lain secara tidak manusiawi.

Apapun yang kita lakukan akan berbalik kepada diri kita sendiri. Itu pasti. 

Melangkah di sepanjang peron

Saya meyakini bahwa rasa sakit dan kecewa yang dibalaskan ke orang lain dengan rasa serupa akan kembali kepada kita dalam bentuk sakit dan kecewa juga. 

Sementara walaupun kita sakit dan kecewa, namun kita inversikan rasa kecewa dan sakit itu menjadi energi positif kebahagiaan dan kita tularkan kepada orang lain maka akan kembali sebagai kebahagiaan kepada diri kita. 

Kalaupun saya merupakan salah satu dari sekian banyak perempuan yang terkikis nuraninya, saya bertekad untuk menjadi salah satu yang mampu mengembalikan nurani itu utuh dan bernilai. 

Semoga saya bisa. This is the next struggle.


12 komentar

  1. Mungkin mereka tak punya pilihan selain sedikit mengikis hati nurani...strong sekali semua ibu2 anak kereta ini...semoga selamat dan sehat selalu

    BalasHapus
  2. Wah kok aku bacanya berkaca kaca. entah kerena di hari senin ini memang sedang berjuang menjadi manusia seutuhnya. Karena korporasi aku merasa seperti robot yang tak lagi punya hati dan perasaan. Di tambah aku tau betul rasanya menjadi Anker. Entah memang hidup yang keras, entah ibu kota yang kejam. Terima kasih sudah berbagi cerita berjuang menjadi menjadi manusai seutuhnya, walau belum sepenuhnya utuh.

    BalasHapus
  3. Wah, mengenai sekali. Beratnya perjuangan tidak menjadikan beratnya kita berbuat kebaikan. Gitu ya

    BalasHapus
  4. Dan sampai sekarang gerbong perempuan lebih di kenal gerbong yg paling kejam dan brutal ya mba.. 😄 aku melewati fase jd anak KRL setelah lulus kuliah, tapi bapaknya tetep jd anker krn moda transportasi yg memadai ke kantornya cuma itu

    BalasHapus
  5. Sedih bacanya, ternyata sesulit itu para wanita di KRL ya. Tapi memang pada gak punya nurani demi mementingkan kenyamanan sendiri. Tega banget kalo sampe ga ngasih tempat duduk buat bumil.

    BalasHapus
  6. Ya Allah, aku yang sesekali saja merasakan perjuangan naik komuter ini kalau pas mau ke Jakarta dari Bogor nyesek bacanya Mbak kereta perempuan memang lebih brutal ya tapi setidaknya berdesakan dengan sesama perempuan..semoga lebih baik lagi pelayanan komuter juga lebih banyak keretanya

    BalasHapus
  7. MasyaAllah terbayang perjuangannya, Mbak. Luar biasa harus berdesakan seperti itu. Memang kita yang sebaiknya mengubah mindset. Terima kasih sudah berbagi kisahnya

    Semoga sehat selalu

    BalasHapus
  8. aku pernah sekali mencoba naik KRL pas jam sibuk, pas ke Jakarta tahun 2019 jadi bisa menghayati benar baca tulisan ini. Wah sempat gimana juga waktu itu ..aku yang biasa hidup di kota kecil tak pernah berdesak-desakan sekali mencoba eh, ngeri juga deeh..untung bareng sama temen waktu itu...

    BalasHapus
  9. Jujur saya kadang ga tega membayangkan kalo harus jadi pejuang KRL setiap hari, dengan aktivitas yang ga main-main sebagai pekerja. Naik KRL sesekali, yang sering kali kondisi masih prima, masih sangat bisa untuk menawarkan kursi ke orang yang lebih prioritas. Pasti beda dengan orang yang harian naik KRL, semangat terus, perjuangan yang hebat.

    BalasHapus
  10. Subhanallah ya, para wanita angker dan Roker setrong sekali. Mereka butuh moda transportasi yang lebih ramah. Semoga mereka berhasil menyuburkan kembali kelembutan hati dan menciptakan baiti jannati untuk diri sendiri dan keluarga. Peluk Bu Opi sayaaang 😘

    BalasHapus
  11. semoga para perempuan kuat ini selalu sehat. dan ya ... nurani pun kadang 'terpaksa' tumpul pada saat situasi benar-benar tidak terduga. salah satunya faktor kelelahan dan hal-hal lain yang tidak bisa dibicarakan.

    BalasHapus
  12. Salutt bgt sama orang orang yg tiap hari naik kereta 👏👏 setuju sama mindsetnya kalau ada orang yg ngga punya nurani kita harus berpikir bahwa kita ngga boleh kayak gitu ke orang lain... Sehat selalu mbanyaa semoga selalu diberi kenyamanan naik krl bersama orang orang yg punya hati nurani 💕

    BalasHapus

Terima kasih telah berkunjung dan membaca artikel ini. Silakan tinggalkan jejak di komentar dengan bahasa yang sopan. Mohon tidak meninggalkan link hidup. Terima kasih.