Memperbaharui Paradigma, Ibu Profesional Bukan Utopia


Awal menjadi ibu, saya tidak pernah membayangkan bahwa profesi IBU bisa jadi sangat kontroversial. WOW. Apalagi ketika awal merasakan terjadi “Mom War” antara geng ibu-ibu rumah tangga dengan geng ibu kantoran.  Duh… speechless deh. 

Buat saya yang ketika awal menikah pikirannya sederhana aja, nikah ya nikah. Agak absurd dulu motivasi nikah saya karena ngga mau menua sendirian.  Pingin ada orang tersayang yang bersama sampai tua, sampai mati.  Hahaha, stupid ya.  Dulu ngga kepikir kalaupun nikah ya tetep aja bisa tua sendirian kalau pasangannya meninggal duluan wkwkwwk.  Apalagi kalau sampai pisah/cerai, yang waktu itu ngga pernah kepikiran. 

Sebelum menikah juga sudah berdiskusi dengan calon suami bahwa rasa-rasanya dengan kondisi kami belum punya rumah tinggal, akan lebih baik kalau kami berdua tetap bekerja.  Biar bisa segera beli rumah dan tinggal dengan tenang.  Ngga numpang sama orang tua atau ngontrak yang bikin pengeluaran pasti makin bengkak dan berujung tidak punya asset rumah tangga. Logis aja sih.  

Maka, ketika menjalani peran ibu di awalnya, saya sempat gamang. Dalam kondisi bekerja di luar rumah, titipin anak sana sini, duh… saya sudah pernah merasakan nitip anak ke orang tua, ipar, adik, kakak, daycare, bahkan tetangga. Digempur omongan miring kanan kiri depan belakang. 

Gamang, terlebih ketika profesi IBU dipandang sebagai bukan sebagai profesi, tapi mutlak sebagai kodrat saja. Iya memang kodrat perempuan itu haid, hamil, melahirkan, dan menyusui. Menjadi IBU itu ya memang kodrat perempuan.  

Tapi, IBU juga adalah profesi yang mulia.  Jadi ibu itu butuh skill yang ngga pas-pasan aja.  Layaknya professional, jadi IBU itu butuh kemauan belajar terus menerus untuk meningkatkan skil, memantaskan diri. 

Tak heran, sebagai ibu saya sempat goyah berkali-kali ingin resign dari kantor karena ngerasa ngga kuat waktu anak balita sakit-sakitan.  Tapi terus bertahan karena memang merasa butuh pekerjaan. 

Belasan tahun berlalu hingga kini anak-anak mulai beranjak besar.  Rumah yang kami tempati sudah lunas alhamdulillah, walau nyicil KPR nya sampai 15 tahun.  Saya masih bekerja kantoran dengan sejuta dinamikanya.  

Kegamangan yang terasa di awal berperan jadi IBU saya pahami kini sebagai bentuk rasa tanggung jawab dari dalam diri.  Bentuk rasa yang perlu direspon dengan “memantaskan diri”. 

Saya termasuk IBU yang sangat beruntung.  Ketika berada di persimpangan kebingungan antara kerja untuk dapat uang dan mengasuh anak, saya ketemu dengan Institut Ibu Profesional yang dikomando Ibu Septi Peni Wulandani.  

Institusi ini memperbaharui mindset saya, bahwa IBU adalah PROFESI yang mulia dan menjadi seorang IBU harus PROFESIONAL.  Ngga bisa asal-asalan.  Dalam kerangka itu, tidak ada satupun yang dikorbankan.  Tidak harus resign dari pekerjaan.  Tidak harus diam di rumah saja. Tidak begitu konsepnya. Karena di rumah ataupun di luar rumah, IBU harus PROFESIONAL. 

 

Mari Memperbaharui Paradigma:  Jadi Ibu Harus Profesional

Jadi ibu itu ya harus professional.  Ngga bisa asal-asalan.  Inilah kemudian yang saya pelajari dari Ibu Septi Peni Wulandani, founder Institut Ibu Profesional.  

Sebagian orang meragukan bahwa ibu yang profesional itu ya cuma ada dalam khayalan.  Utopia belaka.  Awalnya saya sempat juga meragu.  Apalagi waktu merasakan sendiri, saat harus “mengorbankan” karier untuk lebih fokus pada perkembangan anak-anak dan mengurus keluarga.  

Belakangan saya baru paham bahwa itu bukan “mengorbankan” .  Salah kaprah. Itu soal PRIORITAS. 

Mari kita tilik mindset Ibu Profesional yang diajarkan Ibu Septi. 


Mindset Ibu Profesional:

1. Semua Ibu Bekerja :  Ranah Domestik atau Publik 

2. Semua Ibu adalah Makhluk Sosial, Membutuhkan Ranah Aktualisasi

3. Pekerjaan publik, berkarya/aktualisasi, dan mendidik anak, bukanlah tiga hal yang terpisahkan, sehingga harus ada yang dikorbankan salah satu.  Kuncinya adalah SKALA PRIORITAS.

4. Setiap Ibu Bisa Produktif di Ranahnya dengan support system yang optimal

5. Profesional adalah pilihan


1. Semua Ibu Bekerja :  Ranah Domestik atau Publik 

Semua Ibu bekerja. Bedanya hanya apakah sang ibu dominan bekerja di ranah domestik (ibu rumah tangga) atau dominan bekerja di ranah publik (bekerja sebagai pegawai, direktur, dokter, guru, dosen, polisi, pengacara, dan profesi lain yang dominan membuatnya berada di ranah publik/ di luar rumah).  Dua-duanya punya kewajiban mengasuh dan mendidik anak bersama pasangan.  Semuanya menginginkan kemuliaan hidup. 

Jadi, kalau ibu rumah tangga disebut sebagai ibu yang tidak bekerja, itu salah kaprah.  Lalu, ibu yang bekerja di kantor disebut working mom, ya salah kaprah juga.  Semua ibu itu bekerja kok.  Pembedanya hanya ranah/ sektor dominan pekerjaannya.  Lebih dominan di ranah domestik atau ranah publik.  

Nah, semua ibu baik yang bekerja dominan di ranah domestik maupun ranah publik bisa menjadi ibu yang profesional.  Selama para ibu selalu berupaya memantaskan diri, belajar, dan mengejar kemuliaan hidup bukan sekedar pencapaian kepuasan belaka, pasti bisa jadi profesional. 

Karena profesional di sini maknanya lebih ke arah memiliki kualifikasi dan kemampuan/kepandaian yang terus menerus ditingkatkan. Bukan yang amatiran.  Serta, mendapatkan ganjaran dari proses kerjanya.  Ganjaran itu tak selalu berupa materi namun kemuliaan hidup.


2. Semua Ibu adalah Makhluk Sosial, Membutuhkan Ranah Aktualisasi

Semua Ibu adalah makhluk sosial, baik yang dominan bekerja di ranah domestik maupun yang dominan bekerja di ranah publik. Keduanya memiliki kebutuhan untuk mengaktualisasikan diri seperti pada umumnya manusia.  Keduanya ingin berkarya di bidang yang diminatinya, ingin bermanfaat bagi banyak orang, ingin berbagi dan berkumpul dengan orang-orang yang memiliki kesamaan minat. 

Oleh karena itu, kebutuhan berkumpul dengan sesama sebaya (peer) adalah kebutuhan semua ibu.  Jangan dipikir hanya ibu rumah tangga saja yang butuh berkumpul keluar dengan rekannya ya. 

Para ibu sektor publik juga memiliki kebutuhan itu, di luar komunitas pekerjaannya. Karena mereka adalah juga makhluk sosial yang berbeda-beda ranah aktualisasinya.


3. Pekerjaan publik, berkarya/aktualisasi, dan mendidik anak, bukanlah tiga hal yang terpisahkan,            sehingga harus ada yang dikorbankan salah satu.  Kuncinya adalah SKALA PRIORITAS.

Beberapa Ibu terperangkap.  

Ada yang merasa tidak berharga menjadi ibu rumah tangga. Ada pula yang menjadi jumawa karena berkarier dan berpenghasilan. 

Mereka para ibu yang terjebak.

Beberapa Ibu asal-asalan.  Merasa cukup dengan berada bersama anak sepanjang hari, tanpa sadar kebersamaan itu hanya kebersamaan fisik yang kurang ranum.  Berada di rumah, tetapi jiwa sang anak entah berkeliaran di mana, dan sang ibu asyik bersama gadgetnya. Dengan urusannya. Bersama tapi terasa hampa.

Bahkan ada juga ibu yang merasa terlalu bangga dengan jabatan dan karier yang menanjak, lalu asal-asalan menyusun jadwal ranah domestik.  Menemani anak bermain pun nyaris tak pernah sempat.  Semua jadi asal-asalan...asal datang....asal pergi...dan tak tersisa yang tertinggal menetap dalam jiwa anak. 

Beberapa Ibu tersadar untuk menjadi profesional. Ibu Profesional bukan yang asal-asalan, bukan yang terperangkap atau terjebak pada pekerjaan ranah domestik atau ranah publik. 

Mereka Ibu yang sadar mempelajari ilmu dan meningkatkan keterampilan Bunda Sayang untuk mengasuh anak, Bunda Cekatan untuk memanage rumah tangga, dan Bunda Produktif untuk menjadi produktif menurut versinya masing-masing dalam rangka meningkatkan kemuliaan hidup.  



Ibu yang dominan bekerja di ranah domestik sadar untuk berikhtiar lebih menelaah ketertinggalan ilmu Bunda Produktif. Sadar untuk mulai berkarya di ranah publik dengan menggali minat dan potensinya agar tak berkarat di rumah. 

Ibu yang dominan bekerja di ranah publik sadar untuk mengejar ketertinggalan ilmu Bunda Sayang dan Bunda Cekatan, juga selalu introspeksi apakah produktivitas telah membawanya untuk meningkatkan kemuliaan hidup atau sebaliknya. Ia mampu, paham, dan sadar mengerem kapan harus lebih banyak berkecimpung dalam kariernya di ranah publik, dan kapan harus tancap gas di ranah domestik. 

Kelak, Ibu Profesional mampu membuktikan bahwa antara pekerjaan, berkarya dan mendidik anak, bukanlah sesuatu yang terpisahkan, sehingga harus ada yang dikorbankan. Istilah dikorbankan ini memang menjebak.  Sebenarnya bukan dikorbankan, tetapi intinya soal PRIORITAS. 

Dengan menetapkan prioritas para ibu secara sadar akan menerima bahwa yang terbaik adalah ketika di dalam support system ia mampu melakukan yang terbaik juga untuk keluarga.  Semuanya akan berjalan beriring selaras dengan harmoni irama kehidupan.  Walaupun, yang terbaik bagi keluarga bisa beragam wujudnya, tidak mungkin sama antar keluarga. 


4. Setiap Ibu Bisa Produktif di Ranahnya dengan support system yang optimal

Produktif artinya mengahasilkan sesuatu yang meningkatkan kualitas hidup keluarga.  Seorang ibu rumah tangga bisa produktif di rumah dengan support system yang dimilikinya.  Begitu pula dengan ibu kantoran maupun ibu bekerja ranah publik lainnya.  Dengan support system yang dimiliki, para ibu akan terdorong untuk lebih optimal bekerja dan lebih bugar mental.  

Membangun support system ini memerlukan kerjasama keluarga.  Ibu yang disupport untuk dapat bekerja di luar rumah atau berbisnis, demi mencapai cita-cita keluarga, akan berbeda dengan mereka yang terpaksa mengerjakan sesuatu tanpa dukungan, hanya diperas tenaga dan uangnya saja demi mencukupi mulut yang harus diberi makan.  Soal tanggung jawab kepala keluarga juga perlu didudukkan pada tempatnya.

Dukungan dari suami dan anak dapat berupa kesediaan untuk bekerja sama mengerjakan pekerjaan rumah tangga yang biasanya hanya dibebankan pada ibu.  Bisa juga dengan membantu meringankan ibu dengan mempermudah akses transportasi dari dan ke tempat kerja atau akses lainnya.


5. Profesional adalah pilihan

Menjadi Ibu Profesional itu PILIHAN. Pilihan untuk menjadi “tidak terperangkap” dan “tidak asal-asalan”. IBU PROFESIONAL adalah seorang perempuan yang bangga akan profesinya sebagai pendidik utama dan pertama bagi anak-anaknya serta senantiasa memantaskan diri dengan berbagai ilmu, agar bisa bersungguh-sungguh mengelola keluarga dan mendidik anaknya dengan kualitas terbaik.


Yang penting untuk diingat adalah ibu laksana bejana yang senantiasa diharapkan menuangkan cinta dan kasih sayang kepada pasangan dan anak-anak.  Ibu tak mungkin dapat menuang bejana yang kosong.  Untuk tetap dapat melimpahkan kasih sayang, seorang ibu terlebih dulu harus menyayangi dirinya sendiri.  

Menjadi Ibu adalah berenang di lautan Universitas Kehidupan.

Menjadi Ibu Profesional adalah berjalan di titian dengan hati-hati, berjalan mendekat ke garis keseimbangan, agar tercipta harmoni yang utuh.  (Opi) 

1 komentar

  1. Adeeeem banget baca tulisan mba Opi 👍. Poin2 nya dapat semua. Menekankan bahwa seorang ibu ntah dia bekerja di ranah domestik atau publik, ya tetap saja bekerja. Paling sebeeel kalo denger Kata2 ibu rumah tangga itu ga kerja, cuma di rumah 😣. Lah dikirain membersihkan rumah, memastikan anak dan suami makan tepat waktu, mengurus mereka jika sakit, menemani anak belajar dll itu cuma ongkang2 kaki apa.

    Dulu pas masih kerja kantoran, aku selalu ragu untuk resign, dan rasanya ga kepengin. Krn aku tahu kerjaan ibu di rumah jauh lebih berat drpd kantoran. Jam kerja tak terbatas pula. Tapi pada akhirnya toh aku milih resign, dan kerja dari rumah, tapi tetep ngawasin anak2. Bersyukur aku ada support system dari asisten2 yang membantu dan juga suami yg sangat mendukung.

    Semuanya tergantung dari bagaimana kita mengatur prioritas ya mba. Time management. Padahal di kantor dulu yg namanya manajemen waktu itu aku kuasain banget supaya kerjaan ga keteter dan sesuai due date. Giliran di rumah harus adaptasi lagi supaya bisa mencari pengaturan waku yg paling sesuai 😄.

    Tetep harus belajar, di manapun kapanpun. Aku juga setujuuu dengan poin, kalo ibu harus bahagia dulu supaya bisa memberikan cinta kasihnya ke keluarga. Krn ibu yg ga bahagia, ga akan bisa membuat keluarganya bahagia. Ujung2nya perlakuan ke anak2 dan suami juga pasti berbeda. Bisa acuh ga acuh, bisa kasar. Anak2 jadi takut, suami jadi males di rumah. Itulah kenapa aku berusaha banget utk bisa mengatur moodku supaya ga gampang down. Kalopun di saat itu mood sedang ga baik, cari me time, yg bisa bikin rileks pikiran.

    BalasHapus

Terima kasih telah berkunjung dan membaca artikel ini. Silakan tinggalkan jejak di komentar dengan bahasa yang sopan. Mohon tidak meninggalkan link hidup. Terima kasih.