Menapaki Jalan Panjang Biofortifikasi Pangan Pokok

Hai teman-teman pembaca setia blog www.opiardiani.com.  

Ngga bosan kan ya belakangan ini saya sedang senang mengulas tentang fortifikasi, biofortifikasi, dan tetek bengeknya.  Selain berkaitan dengan bidang pekerjaan, saya juga ingin menyebarkan informasi tentang tema ini kepada pembaca yang lebih luas, bukan hanya dari orang-orang yang bergiat di bidang pangan. 

Mengapa?  

Karena urusan pangan ini ya memang urusan kita semua. Termasuk para perempuan ya, semestinya punya perhatian yang cukup soal pangan untuk keluarga. Sebagai ibu, para perempuan yang punya pengetahuan dan wawasan cukup tentang pangan pastinya akan lebih mudah menangani urusan ini.  Juga, ketika berdiskusi dengan pasangan maupun memberikan masukan untuk lingkungan sekitar.

Kalaupun saya tertarik menuliskan tema ini, bukan berarti saya jago banget di bidang ini lho.  Ngga sama sekali. Prinsip saya, sedikit ilmu yang dibagikan akan lebih baik daripada banyak ilmu yang disimpan.  

Sebetulnya saya hanya ingin belajar menuangkan tema-tema ilmiah yang terasa asing menjadi lebih mudah dipahami kebanyakan orang. Mudah-mudahan saya berhasil ya.

Kali ini saya ingin mengulas tentang biofortifikasi pangan pokok. Kenapa biofortifikasi? Menurut saya tema ini penting diketahui lebih banyak orang seiring dengan pergeseran pola hidup dan makan sehat pasca pandemi Covid-19. 

Mungkin banyak diantara teman-teman yang masih asing dengan istilah biofortifikasi.  Ngga apa-apa.  Istilah ini memang lebih populer di kalangan pegiat di bidang pangan dan nutrisi, tapi relatif kurang ngetop di kalangan masyarakat umum.  


Biofortifikasi atau fortifikasi biologi pada prinsipnya adalah pengayaan gizi mikro (vitamin dan mineral) pada sumber pangan dengan cara menambahkan gizi mikro tersebut sejak tanaman pangan itu ditanam.  
Proses peningkatan kandungan vitamin dan mineral dalam tanaman dilakukan melalui pemuliaan tanaman secara konvensional maupun teknik transgenik (rekayasa genetika) dan praktik agronomi (pemupukan).
  
Hal ini berbeda dengan fortifikasi, yang sudah saya tulis di artikel-artikel sebelumnya. 

Fortifikasi pada prinsipnya adalah penambahan gizi makro (karbohidrat, lemak, protein) maupun gizi mikro (vitamin dan mineral) pada sumber pangan dengan cara menambahkan zat gizi tersebut pada bahan pangan. 
Misalnya pencampuran kernel fortifikan berisi vitamin dan mineral ke dalam butiran beras. Atau misalnya, penambahan vitamin A ke dalam minyak goreng, dan penambahan berbagai vitamin ke dalam tepung-tepungan.  Proses penambahan nutrisi bisa dilakukan dengan berbagai metode, tergantung bahan pangannya.  


Metode yang telah dilakukan adalah teknik dry mixing (pencampuran kering), dusting, dan pencampuran kernel fortifikan yang disiapkan melalui hot extrusion maupun cold extrusion. 


Beras sebagai pangan pokok orang Indonesia diketahui mengandung gizi mikro yang kurang memadai.  Ini dapat dipahami karena memang beras adalah makanan pokok sumber energi yang kandungan mineral serta vitaminnya terbatas. 

Biofortifikasi, digadang-gadang sebagai inovasi untuk meningkatkan mutu beras dengan menambah kandungan gizi mikronya sejak padi ditanam di sawah. 

Meski pengayaan zat gizi melalui fortifikasi dan biofortifikasi telah lama dicetuskan, jalan untuk menjadikannya diterima secara luas memang sangat panjang.  Berbagai kontroversi dari sudut pandang global dan fundamental masih menjadi sebabnya.  Ditambah lagi, implementasinya membutuhkan juga perubahan budaya bercocok tanam dan budaya makan di kelompok masyarakat yang berbeda-beda.

Mengapa Biofortifikasi?


Biofortifikasi atau fortifikasi biologi pada prinsipnya adalah pengayaan gizi mikro pada sumber pangan dengan cara menambahkan gizi mikro tersebut sejak tanaman pangan itu ditanam.  Proses peningkatan kandungan vitamin dan mineral dalam tanaman dilakukan melalui pemuliaan tanaman secara konvensional maupun teknik transgenik (rekayasa genetika) dan praktik agronomi (pemupukan).  

Saat proses biofortifikasi berlangsung, terjadi peningkatan level nutrisi tanaman selama masa pertumbuhan hingga dipanen dan mengalami proses pascapanen.  Gizi mikro yang ditambahkan pada proses biofortifikasi pada umumnya adalah Fe, Zn, dan Vitamin A.   

Walaupun terdapat banyak ragam vitamin dan mineral yang dibutuhkan untuk kesehatan, riset-riset biofortifikasi ternyata hanya mengutamakan tiga jenis mironutrisi ini : Fe, Zn, dan Vitamin A.  Wajar, karena mungkin kita mencari inovasi yang lebih baik ketimbang suplementasi Besi, Seng, dan Vitamin A pada kelompok rawan pangan.  


Konsep biofortifikasi berbeda dengan fortifikasi biasa.  Fortifikasi prinsipnya menambahkan zat gizi mikro pada bahan pangan siap olah atau konsumsi dengan konsentrasi tertentu.  Misalnya, fortifikasi beras, artinya mencampurkan vitamin dan mineral pada beras yang akan dikonsumsi dengan teknik tertentu.  Fortifikasi bukan hanya diterapkan pada pangan pokok, namun secara luas bisa diimplementasikan pada garam, margarin, minyek goreng, biscuit, dan pangan non pokok lainnya. 

Dalam konteks menangani kerawanan pangan dan kekurangan gizi mikro di masyarakat yang berdampak panjang, dunia tidak dalam kondisi memilih antara fortifikasi, biofortifikasi, atau inovasi lain.  Namun, berbagai alternatif inovasi yang paralel tentunya potensial menjadi program solutif yang saling melengkapi.
Jika dipertanyakan mengapa harus memilih jalan biofortifikasi ketimbang fortifikasi, kita akan melihat beberapa fakta memang memperlihatkan inovasi ini cukup menjanjikan dari segi ekonomi jangka panjang.  Dengan melakukan biofortifikasi, artinya menguntungkan dari segi budidaya karena benih yang terfortifikasi hanya diperlukan sekali di awal penggunaan, selanjutnya benih dari pertanaman berikutnya dapat dikembangkan lebih lanjut oleh petani lain.  

Umumnya, biofortifikasi diterapkan pada varietas yang memiliki produktivitas tinggi maupun tahan hama.  Hal ini melipatgandakan manfaat selain juga lebih ramah lingkungan dan hemat energi jika dibandingkan dengan fortifikasi.  

Fortivit, salah satu merk beras fortifikasi produksi Perum BULOG

Sebagaimana diketahui, fortifikasi membutuhkan lebih banyak infrastruktur seperti pabrik kernel fortifikan, importasi premix vitamin, dan beberapa teknologi pencampuran.  Ini tentunya berdampak pada penggunaan energi dan dampak lingkungan yang lebih besar dibandingkan pilihan biofortifikasi.  

Salah satu kelebihan biofortifikasi yang juga sangat prinsip adalah mampu menghadirkan cara untuk menjangkau populasi di mana suplementasi dan kegiatan fortifikasi pangan secara konvensional mungkin sulit diterapkan atau terbatas.
Karakteristik baru dari biofortifikasi adalah keabadiannya dalam pengayaan nutrisi.  Setelah tanaman pokok yang kaya nutrisi dibiakkan, diadaptasi, dan tumbuh di suatu wilayah, maka akan terjadi peningkatan nutrisi tanpa inovasi pemuliaan tanaman berkelanjutan terus menerus.  
Melalui biofortifikasi, pencapaian pengayaan nutrisi berkelanjutan dari tanaman pokok lokal bisa dicapai.  Begitu pula potensi untuk meningkatkan ketahanan tanaman, produktivitas, dan nilai agronomi. Lebih lanjut, biofortifikasi mampu mengembangkan struktur untuk pengenalan ke masyarakat yang ditujukan untuk menjangkau masyarakat miskin pedesaan (petani).  

Namun, dengan pandangan positif tersebut, tidak cukup untuk membuat biofortifikasi melaju kencang sebagai inovasi solutif bagi masalah rawan gizi.  Kita bisa melihat ada sisi kontra yang bila ditelaah mengandung kebijaksaan dari sudut pandang biodiversitas. 

Biofortifikasi versus Biodiversitas


Kelompok yang anti biofortifikasi umumnya memandang bahwa biofortifikasi sangat sempit menilai keberadaan dan manfaat tanaman pangan.  Dengan menambahkan mikronutrisi, dianggap sebuah tanaman itu dilihat dari fokus kelemahan atau kekurangannya.  Padahal, dalam konsep biodiversitas (keanekaragaman hayati), setiap makhluk hidup hadir dengan manfaatnya masing-masing. Termasuk tanaman pangan. 

Beras, sebagai bahan pangan pokok, memang terlahir sebagai tanaman yang kaya karbohidrat namun tidak kaya vitamin dan mineral.  Sebaliknya, sayur mayur dan buah tertentu memang lahir sebagai sumber vitamin dan mineral, namun kurang berenergi.  


Penganut biodiversitas memandang bahwa kerawanan pangan dan kekurangan zat gizi seharusnya ditangani dengan membudayakan masyarakat untuk memanfaatkan berbagai sumber makanan yang kaya gizi sesuai kebutuhan.  Ini lebih ke budaya makan yang lebih mendasar.    

Sederhananya, alih-alih menambahkan zat gizi mikro ke pangan pokok (biofortifikasi), mereka lebih menyarankan agar masyarakat mengonsumsi ragam pangan yang memang kaya akan mironutrisi tersebut. 
Pendukung biodiversitas meyakini bahwa sistem pangan lokal dan asupan pangan tradisional merupakan solusi sejati dari kemiskinan dan kekurangan gizi, dibanding dengan menggunakan tanaman biofortifikasi.
Namun, memang kondisi tidak bisa dipandang sebagai satu fenomena tunggal.  Level pendapatan keluarga, tingkat pendidikan dan pengetahuan masyarakat, turut andil dalam penyebab mengapa urusan makan bergizi jadi tidak sesederhana mengunyah dan menelannya. 
Konteksnya menjadi rumit manakala biofortifikasi akan menggunakan rekayasa genetika dalam pemuliaan tanaman.  Ini makin ditentang karena masuk ke wilayah kontroversial yang lain, yaitu pro kontra produk pangan transgenik.  
Meskipun sampai hari ini belum diluncurkan varietas tanaman pangan pokok biofortifikasi hasil rekayasa genetika, namun risetnya memang sangat masif dibiayai oleh lembaga yang kuat yaitu USAID dan Melinda Gates Foundation.  Hal ini sebagaimana dilansir di https://grain.org.

Sebagian dari riset tersebut dikelola oleh Consultative Group for International Agricultural Research (CGIAR), termasuk di dalamnya International Rice Research Institute (IRRI) sebagai pusat studi rekayasa genetika untuk biofortifikasi tanaman padi.  

Tanaman pangan pokok yang diteliti juga sangat beragam meliputi padi, gandum, sorgum, pisang, lentil, kentang, ubi, singkong, kacang-kacangan dan jagung.  Riset serupa juga dilakukan sejumlah korporasi privat seperti PepsiCo, Dupont, Bayer, Nestle dan lainnya.  


Pangan Pokok Biofortifikasi di Dunia dan di Indonesia

Dunia secara bertahap telah mengembangkan terus biofortifikasi pada berbagai tanaman pangan pokok, terlepas dari beragam kontroversinya.  

Contoh proyek biofortifikasi internasional yang pernah ada meliputi: 
1. Biofortifikasi Zat Besi (Fe) pada beras dan kacang-kacangan, 
2. Biofortifikasi Zinc (Zn) pada gandum, beras, kacang-kacangan, ubi jalar dan jagung, 
3. Biofortifikasi Provitamin A Karotenoid pada ubi jalar, jagung dan singkong.

Fokus biofortifikasi tanaman pangan pokok memang fokus di ketiga mikronutrisi tersebut: Fe (Besi) untuk mengatasi defisiensi anemia gizi besi, Zinc (Zn) untuk mengatasi kekurangan Zinc, dan Provitamin A untuk mencukupi kebutuhan vitamin A.  Kekurangan ketiga mineral itulah yang paling mengemuka di dunia.  

Sedangkan di Indonesia, biofortifikasi baru menyentuh komoditi padi-beras. Tanaman pangan pokok lainnya belum terlalu dirambah.  Varietas padi yang dikembangkan dalam hal ini adalah Inpari Nutri Zinc.  

Inpari IR Nutri Zinc yang dikembangkan Balai Besar Penelitian Tanaman Padi 
Balitbangtan Kementan RI

Inpari IR Nutri Zinc dilepas tahun 2019 melalui SK Menteri Pertanian 168/HK.540/C/01/2019/. Potensi kandungan Zn pada varietas ini dapat mencapai 34,51 ppm, dengan rata-rata kandungan Zn 29,54 ppm. Varietas ini baik baik ditanam untuk lahan sawah irigasi pada ketinggian 0-600 mdpl. 

Dari sejumlah proyek uji coba tanam varietas ini di berbagai wilayah Indonesia, tercatat rata-rata hasil panennya ± 6,2 ton/ha. Potensi produktivitasnya sebetulnya bisa mencapai ± 9,98 ton/ha.  

Beberapa waktu lalu, Pusat Renstra dan Manajemen Risiko Perum BULOG tempat saya bertugas sudah sempat melakukan uji organoleptik hasil tanak beras biofortifikasi.  Rasa, aroma, dan struktur fisiknya dibandingkan dengan beras umum dan beras fortifikasi.  Sebanyak 25 responden dilibatkan dalam uji ini. 

Pengujian organoleptik jenis-jenis beras biofortifikasi

Beras biofortifikasi yang diuji adalah varietas Inpari Nutri Zinc hasil panen dari persawahan Sukamandi, Jawa Barat, yang dikembangkan oleh PT Sang Hyang Seri.  Selama masa tanamnya, padi ini diberi tiga perlakuan pemupukan yang berbeda yaitu metode pemupukan ala petani, PT Sang Hyang Seri, dan PT Pupuk Indonesia melalui IFRI (Indonesia Fertilizer Research Institute).  

Pengujian organoleptik jenis-jenis beras biofortifikasi (rasa, aroma, tekstur)

Secara fisik, beras dan nasi varietas ini nampak lebih pucat dan kuning dibandingkan beras pada umumnya.  Rasanya tak berbeda dengan nasi pada umumnya. Teksturnya pulen.  Nantinya, yang turut akan menentukan preferensi konsumsi terhadap beras /nasi ini adalah harganya. 

Tantangan Biofortifikasi Pangan Pokok di Indonesia


Memperhatikan perbedaan pandangan fundamental antara biofortifikasi dan biodiversitas, juga transformasi budaya tanam dan makan yang tidak sederhana, nampaknya tantangan untuk menjadikan biofortifikasi sebagai inovasi solutif memang akan panjang. Hal ini sangat wajar. 

Kita mungkin belum lupa beberapa dekade lalu, kultur jaringan hidup, terutama jaringan hewan atau manusia juga menghadapi tantangan yang sama. Ini ditentang keras karena dipandang akan sangat sulit mengontrol moral hazard-nya. Namun seiring berjalannya waktu, adanya penyempurnaan di sana sini, terlihat bahwa semua tergantung pada faktor manusia sebagai pengendali teknologi. Begitu pula dengan biofortifikasi.  


Sejatinya, kondisi di Indonesia akan jauh lebih kompleks.  Kita juga akan dihadapkan pada kondisi, apakah varietas biofortifikasi nantinya akan sangat menarik untuk ditanam oleh para petani? Apakah harga benihnya terjangkau?  Apakah harga jual gabahnya menarik? Apakah penyediaan pupuk Zn dan Fe nya juga mudah?  Jika ya, kondisinya akan menjadi lebih sederhana.  Jika tidak, tantangan baru akan dihadapi.  

Lebih lanjut lagi, masih perlu riset panjang untuk membuktikan apakah kandungan mikronutrisi Zn, Fe dan Provitamin A nantinya signifikan dan worthed untuk diperoleh dari proses biofortifikasi pangan pokok?  Misalnya, kandungan Zn dari varietas padi Inpari Nutri Zinc hasil biofortifikasi rata-rata adalah 29,54 ppm.  Apakah ada varietas non biofortifikasi yang memiliki kandungan Zn dengan nilai yang kurang lebih sama?  

Jika ada, maka akan muncul pertanyaan: apakah upaya biofortifikasi yang dilakukan pada varietas tersebut menguntungkan dari segi analisis usaha taninya, sementara sudah ada varietas asli yang mirip sifatnya? Worthed - kah? Ini membutuhkan riset yang berkelanjutan.


Lalu, apakah kandungan mikronutrisi pada pangan pokok hasil biofortifikasi tersebut menggambarkan penanggulangan defisiensi mikronutrisi secara nyata?  Seberapa banyak kandungan mikronutrisi yang akan larut/hilang saat proses pasca panen, pencucian, hingga penanakan?
Masih diperlukan riset panjang tentang signifikansi kandungan mikronutrisi hasil biofortifikasi, perbandingannya dengan beras fortifikasi, serta analisis biayanya.  Jalan panjang biofortifikasi pangan pokok memang masih terbentang di hadapan.  Baik di dunia maupun di Indonesia. 
Nah, dengan berbagai pandangan tentang biofortifiaksi ini serta tahapan yang sedang berjalan di Indonesia, bukan berarti upaya meningkatkan kualitas hidup sehat jadi terhambat lho. Tidak sama sekali.  Setidaknya kita mendapatkan gambaran luas tentang jalan panjang ini.  Jalan panjang yang seharusnya mengerucut menjadi masa depan solusi cerdas hidup sehat berkualitas. Aamiinkan yuk…  (Opi)


Referensi: 

Helmyati, S. , E. Yuliati, N.P. Pamungkas, & N.Y. Hendarta. 2018. Fortifikasi Pangan Berbasis Sumber Daya Nusantara: Upaya Mengatasi Masalah Defisiensi Zat Gizi Mikro di Indonesia. Gadjah mada University Press. Yogyakarta: xi+152 hlm. 

Indrasari, S.D & Kristamtini. 2018. Biofortifikasi Mineral Fe & Zn pada Beras, Perbaikan Mutu Gizi Bahan Pangan Melalui Pemuliaan Tanaman.  Jurnal Litbang Pertanian Vol 37. No. 1. Juni 2018 : hal 9-16. 

Mannar, M,G.V & R.F Hurrell. 2018. Food Fortification in A Globalized World. Academic Press. London: xvii + 395 hlm. 

https://grain.org/en/article/6283-what-s-wrong-with-biofortified-crops-the-fight-for-genuine-solutions-to-malnutrition-is-on



20 komentar

  1. sebagai lulusan tekpang, tulisan ini luar biasa banget. semoga perjalanan panjang menuju ketahanan pangan nasional ini banyak pejalannya

    BalasHapus
  2. Banyak banget tantangannya ya Mba untuk pengembangan pangan biofortifikasi.
    Di negara lain pun masih dalam tahap pengembangan ya?
    Adakah negara yang sudah berhasil menerapkan biofortifikasi pada padi-beras?

    BalasHapus
  3. terimakasih ilmunya kak, ini pengetahuan baru buat kaum ibu. tapi jujur saya salah fokus sama foto nasi yang di nampan, bawaannya pengen makan bebarengan rame2

    BalasHapus
  4. Aaamiin. kenal sm mba opi jd nambah ilmu di bidang yg berbeda dengan sy. terima kasih banyak informasinya mba opi. setuju bgt, kita memang harus hidup cerdas dan sehat berkualitas, salah satunya dengan cr biofortifiaksi ini.

    BalasHapus
  5. Semoga bisa cepat beredar di pasaran luas dengan harga yang terjangkau oleh masyarakat. Sepertinya kalo dri soal rasa tdk akan jauh berbeda, ya, mba, habya memiliki tambahan kadar nutrisi dari beras biasanya. Thankyou for sharing, mba.

    BalasHapus
  6. Wah ilmu baru untuk saya. Terimakasih artikelnya, Mbak

    BalasHapus
  7. Semoga tantangan-tantangan dalam proses penyempurnaan pangan biofortifikasi ini bisa terlewati satu persatu, ya Mbak. Dan akhirnya mendapat penyelesaian yang tidak memberatkan pihak manapun, terutama petani dan rakyat kebanyakan.
    Yang pasti tujuannya jelas, untuk hidup cerdas sehat berkualitas.

    BalasHapus
  8. Sebagai rakyat biasa, Saya dukung terus penelitian dan pengembangan khususnya di bidang pangan ini. Semangat! ☺️

    BalasHapus
  9. Sebenarnya sya lebih ke biodiversity sih tpi nggak menolak biofortikasi jg sih.

    BalasHapus
  10. Otakku rada-rada oleng nih Mbak baca artikel yang super duper detail tentang biofortifikasi ini. Sering dengar, tapi cuma sekadar dengar. Bahkan pas nulisnya aja masih scroll ke atas biar nggak salah hahaha cetek banget ya pengetahuanku.
    Tapi, sepemahamanku, teknologi ini memang layak dikembangkan, terutama untuk Indonesia yang banyak petaninya.
    Makasih infonya, Mbak Opi.

    BalasHapus
  11. Tenang mb Opi, ga akan pernah bosen dapat informasi baru kayak gini. Ini beneran baru, jadinya saya tahu tentnang biofortifikasi pangan ini.

    BalasHapus
  12. Menambah ilmu baru tentang biofortifikasi. Memang tantangan teknologi itu biasanya kurangnya pemahaman masyarakat dan skeptisme. Makanya butuh waktu lama untuk sebuah teknologi bisa berkembang. Semoga ke depan, biofortifikasi ini dapat semakin berkembang ya mba

    BalasHapus
  13. biofortifikasi bagi saya asing setelah baca ini baru tahu makasih mbak infonya saya bangga menjadi anak petani

    BalasHapus
  14. Ilmu baru buat saya.bener bener baru tau ada beras fortifikasi.walaupun agak bingung mencerna istilah istilahnya tapi asyik dibacanya MB.semoga makin banyak penemuan penemuan yang bermanfaat setelah ini👍☺️

    BalasHapus
  15. Ternyata penting juga ya kak, mengetahui tentang ilmu pangan seperti ini. Sangat bermanfaat sekali kak.

    BalasHapus
  16. bahasannya lengkap banget untuk aku yang baru mengetahui biofortifikasi. AKu pun baru mengetahui istilah ini. Dan belakangan aku menemukan bahasan tentang biofortifikasi pangan ini. Setelah baca di artikel Mba Opi, jadi lebih mudah di pahami.

    BalasHapus
  17. Whaaa dapat ilmu baru lagi dari Mbak Opi, dan selalu detail bangeeet sharingnya, terima kasih wawasannya ya Mbak

    BalasHapus
  18. Kemarin baca tulisan kakak dan sekarang baca tulisan kakak lagi dengan lebih detail tentang biofortifikasi
    Terima kasih untuk info ilmunya, kak

    BalasHapus
  19. Pertama, aku udah tergiur sama pict menu makanan bikin ngiler.

    Kedua, aku baru tahu ada istilah biofortifikasi. Hal ini berkaitan dg nutrisi tapi menyimak.ulasan mbak asumsi saya bukanlah hal mudah mensosialisasikan apalagi memggantikan keberadaan beras saat ini.

    Ketiga, ada pernyataan yg bagus "lebih baik sedikit ilmu dibagikan daripada banyak disimpan heheh"

    Keren tulisannya

    BalasHapus
  20. Terimakasih sudah konsisten menyampaikan ilmu tentang biofortifikasi mbak. Jadi nambah pengetahuan.

    BalasHapus

Terima kasih telah berkunjung dan membaca artikel ini. Silakan tinggalkan jejak di komentar dengan bahasa yang sopan. Mohon tidak meninggalkan link hidup. Terima kasih.